model pembelajaran matematika berdasarkan teori belajar

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai pengetahuan, matematika mempunyai ciri-ciri khusus antara lain
abstrak, deduktif, konsisten, hierarkis, dan logis. Soedjadi (1999) menyatakan
bahwa keabstrakan matematika karena objek dasarnya abstrak, yaitu fakta,
konsep, operasi dan prinsip. Ciri keabstrakan matematika beserta ciri lainnya
yang tidak sederhana, menyebabkan matematika tidak mudah untuk
dipelajari, dan pada akhirnya banyak siswa yang kurang tertarik terhadap
matematika (masih lebih untuk daripada membenci atau "alergi" terhadap
matematika). Ini berarti perlu ada "jembatan" yang dapat menghubungkan
keilmuan matematika tetap terjaga dan matematika dapat lebih mudah
dipahami.
Persoalan mencari jembatan merupakan tantangan, yaitu tantangan
pendidikan matematika untuk mencari dan memilih model matematika yang
menarik, mudah dipahami siswa, menggugah semangat, menantang terlibat,
dan pada akhirnya menjadikan siswa cerdas matematika. Pencarian dan
pemilihan model pembelajaran matematika perlu berorientasi pada
perkembangan mutakhir di dunia, dengan terus berusaha memperpendek
kesenjangan antara kemajuan di dunia dan keadaan nyata di Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan pembelajaran matematika di dunia tidak bisa
diabaikan karena dapat menyebabkan kita semakin sulit mengejar kemajuan
negara lain.
Model pembelajaran matematika yang berkembang didasarkan pada
teori-teori belajar. Hakikat dari teori-teori belajar yang sesuai dengan
pembelajaran matematika perlu dipahami sungguh-sungguh sehingga tidak
keliru dalam menerapkannya. Teori-teori belajar itu menjadi tidak berguna
jika makna dari konsep-konsep yang dikembangkan tidak dipahami dengan
baik. Jika suatu teori belajar ternyata efektif untuk membantu menolong guru
menjadi lebih profesional, yaitu meningkatkan kesadaran guru bahwa mereka
wajib menolong siswa mengintegrasikan konsep baru dengan konsep yang
sudah ada maka teori itu berharga dan patut dipertimbangkan
.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana landasan belajar matematika berdasarkan KBK?
2.      Bagaimana Pelaksanaan Pembelajaran Matematika yang Konstruktivistik?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui landasan belajar matematika berdasarkan KBK.
2.      Mengetahui pelaksanaan pembelajaran matematika yang konstruktivistik.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan Pembelajaran Matematika Berdasarkan KBK
Gerakan  atau reformasi untuk memperbaiki matematika di sekolah
selalu terjadi dan mengalir dari waktu ke waktu. Isi, metode
pembelajaran, urutan pembelajaran, dan cara evaluasi pembelajaran
dimodifikasi, direformasi, dan direstrukturisasi.Tiga faktor utama yang
melandasi gerakan perubahan adalah keberadaan dan perkembangan teori-teori belajar, psikologi belajar, dan filsafat pendidikan.
Ketiganya memberi warna dan arah perubahan terutama dalam
memandang dan melaksanakan pembelajaran, dan memposisikan guru dan
peserta didik. Teori Thorndike yang bersifat behavioristik (mekanistik)
memberi warna yang kuat perlunya latihan dan mengerjakan soal-soal
matematika, sehingga peserta didik diharapkan terampil dan cekatan dalam
mengerjakan soal-soal matematika yang beragam. Penerapan teori Thorndike ini ditengarai banyak penyimpangan karena pada akhirnya target pencapaian materi pelajaran menjadi sasaran utama, peserta didik menjadi terpaku pada keterampilan dan kurang dalam kemampuan menjelaskan alasan atau kurang menguasai konsep.
Peserta didik mengalami kesulitan mengerjakan suatu
soal yang fakta-faktanya diubah, dikurangi atau ditambah. Akibat lain dari
penerapan teori Thorndike adalah para guru lebih berorientasi pada hasil
(target), dan kurang memperhatikan pada proses. Materi-materi dan
keterampilan-keterampilan baru terus-menerus ditambahkan, tetapi konsepkonsep matematika kurang dikaitkan dan kurang diintegrasikan.
Teori holistik yang merupakan teori kognitif belajar dan dikembangkan
berdasarkan teori pembelajaran bermakna (meaningful instruction) dari
Aussbel, memberi warna perlunya atau pentingnya materi pelajaran yang
bermakna dalam proses belajar karena kebermaknaan akan menyebabkan
peserta didik menjadi terkesan, sehingga pelajaran tersebut akan mempunyai
masa ingatan (retention spam) yang lebih lama dibandingkan dengan pembelajaran yang bersifat hafalan.
Para pelaku pendidikan perlu menyadari bahwa pembelajaran dengan latihan dan pengerjaan (drill and practice instruction) dan pembelajaran bermakna (meaningful instruction) tidak bertentangan tetapi saling melengkapi (complementary). Pembelajaran bermakna diberikan untuk mengawali kegiatan belajar, dan pembelajaran drill & practice diberikan kemudian. Pembelajaran bermakna akan membuat materi pelajaran menjadi menarik, bermanfaat dan menantang, serta pembelajaran drill & practice akan membuat peserta didik terbiasa (familiar) terhadap penerapan konsep sehingga konsep-konsep itu akan dipahami dan tertanam dengan baik dalam pikiran peserta didik.
Dalam proses belajar matematika, Bruner (1982) menyatakan pentingnya tekanan pada kemampuan peserta didik dalam berpikir intuitif dan analitik akan mencerdaskan peserta didik membuat prediksi dan terampil dalam menemukan pola (pattern) dan hubungan/keterkaitan (relations). Pembaruan dalam proses belajar ini, dari proses drill & practice ke proses bermakna, dan dilanjutkan proses berpikir intuitif dan analitik, merupakan usaha luar biasa untuk selalu meningkatkan mutu pembelajaran matematika. Reaksi-reaksi positif untuk perubahan mempunyai dampak perkembangan kurikulum matematika sekolah yang dinamis.
Gerakan matematika modern pada tahun 1950-1960 menekankan
perlunya "makna (meaning)", terutama dari sudut pandang materi (subject
masser), yaitu pemusatan perhatian pada pemahaman (understanding).
Struktur atau sistem formal matematika lebih diutamakan untuk dipahami
dari pola latihan, pengerjaan, dan keterampilan komputasional, dengan
harapan peserta didik lebih mudah dan lebih mampu menggunakan
matematika pada situasi yang beragam.
Pesona atau daya pikat matematika modern mulai menyusul ketika para matematisi dan pendidik mengkritik formalisme matematika sebagai sesuatu yang terlalu berlebihan dan tidak konsisten dengan keperluan kehidupan. Penurunan keterampilan peserta didik dalam komputasi dituduhkan akibat kurikulum matematika modern. Pada tahun tujuh-puluhan, gerakan  keterampilan dasar (basic skills movement) berusaha mengembalikan keterampilan berhitung peserta didik tanpa harus membuang kegiatan pembelajaran yang bermakna.
Selalu melalui tahapan yang cukup waktu, sekitar 10 tahun, ternyata
diketahui bahwa gerakan "basic skills" mempunyai dampak peserta didik
lebih pandai berhitung daripada peserta didik pada tahun-tahun sebelumnya,tetapi mereka kurang pandai menggunakan keterampilan dalam
menyelesaikan masalah beragam. Reaksi tentang dampak positif ini ditandaidengan munculnya gerakan pemecahan masalah (problem solving) pada tahun delapan-puluhan.
Gerakan ini merekomendasikan bahwa pemecahan masalah menjadi fokus dari kurikulum sekolah dan keterampilan dasar berhitung perlu diperluas untuk memberi arah lebih, tidak sekadar kemampuan komputasional. Banyak ragam kegiatan dan pendapat tentang penjabaran makna pemecahan masalah, antara lain soal tidak rutin (non-routine problems), soal cerita (word problems), soal penerapan (application problems), soal dengan banyak selesaian (multiple solutions problems), soal dengan banyak cara menyelesaikan (multiple methods odd solution of problems), dan soal yang memerlukan pemikiran tingkat tinggi. Ada juga pendapat yang mengaitkan sebagai strategi atau serangkaian langkah terencana dalam menjawab soal, dan penyelesaian soal yang mengaitkan bantuan kalkulator, grafik atau diagram.
Seiring dengan perkembangannya strategi pembelajaran dari berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered) maka berkembang pula cara pandang terhadap bagaimana peserta didik belajar dan memperoleh pengetahuan. Kenyataan bahwa peserta didik adalah makhluk hidup yang mempunyai kemampuan berpikir maka tentu mereka mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar dan lingkungan hidup. Mereka, secara individual atau berkelompok, dapat membangun sendiri pengetahuan mereka dari berbagai sumber belajar di sekitar mereka, tidak hanya yang berasal dari guru. Aliran ini disebut aliran konstruktivisme.
Dampak dari berkembangnya aliran yang konstruktivistik adalah
munculnya kesadaran tentang pentingnya kekuatan atau tenaga matematikal
(mathematical power) pada tahun menjelang tahun sembilan-puluhan.
Kekuatan matematikal antara lain terdiri dari kemampuan untuk
(1) mengkaji, menduga, dan memberi alasan secara logis, (2) menyelesaikan
soal-soal yang tidak rutin, (3) mengkomunikasikan tentang dan melalui matematika, (4) mengaitkan ide-ide di dalam matematika dan ide-ide antara matematika dan kegiatan intelektual yang lain, dan (5) mengembangkan percaya diri, watak atau karakter untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi kuantitatif dan spesial dalam menyelesaikan masalah dan membuat keputusan. Hal-hal yang dapat menumbuhkan kesadaran tentang kekuatan matematikal adalah ketekunan/keuletan/kekerasan hati, minat (interest), keingintahuan (curiosity), dan daya temu atau daya cipta (inventiness).
Untuk mendukung usaha pembelajaran yang mampu menumbuhkan kekuatan matematikal, diperlukan guru yang profesional dan kompeten. Guru yang profesional dan kompeten adalah guru yang menguasai materi pembelajaran matematika, memahami bagaimana anak anak belajar, menguasai pembelajaran yang mampu mencerdaskan peserta didik, dan mempunyai kepribadian yang dinamis dalam membuat keputusan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Dukungan dan bimbingan untuk pengembangan profesionalisme dalam mengajar matematika dapat berupa pengembangan dan penetapan ukuranukuran baku (standar) minimal yang perlu dikuasai setiap guru matematika yang profesional. Beberapa komponen dalam standar guru matematika yang profesional adalah:
1)      penguasaan dalam pembelajaran matematika,
2)      penguasaan dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran matematika,
3)      penguasaan dalam pengembangan profesional guru matematika,
4)      penguasaan tentang posisi penopang dan pengembang guru matematika dan pembelajaran matematika.
Guru matematika yang profesional dan kompeten mempunyai wawasan
landasan yang dapat dipakai dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran matematika. Wawasan itu berupa dasar-dasar teori belajar yang
dapat diterapkan untuk pengembangan dan/atau perbaikan pembelajaran
matematika
.
1.      Teori Thorndike
Sebelum tahun lima-puluhan, kurikulum matematika sekolah dasar
dipengaruhi oleh teori Thorndike, ditandai terutama dengan pengembangan
keterampilan komputasional bilangan cacah, pecahan, dan desimal. Teori Thorndike disebut teori penyerapan, yaitu teori yang memandang peserta didik sebagai selembar kertas putih, penerima pengetahuan yang siap menerima pengetahuan secara pasif. Menurut Thorndike (1924), belajar dikatakan sebagai berikut: "learning in essentially the formation of connections or bonds between situations and responses ... and that habit rules in the realm of thought as truly and as fully in the realm of action".
Pandangan belajar seperti ini mempunyai dampak terhadap pandangan mengajar. Mengajar dipandang sebagai perencanaan dari urutan bahan pelajaran yang disusun dengan cermat, mengkomunikasikan bahan kepada peserta didik, dan membawa mereka untuk praktik menggunakan konsep atau prosedur baru. Konsep dan prosedur baru itu akan semakin mantap jika makin banyak praktik (latihan) dilakukan. Keterampilan dan konsep baru sekadar ditambahkan terus-menerus, tidak dikait-kaitkan atau diintegrasikan satu sama lain. Kekuatan hubungan stimulus dan respons mewarnai matematika di sekolah dasar, misalnya stimulus 7 + 8 = yang mempunyai respons 15, yang banyak digunakan untuk membawa peserta didik terampil komputasi. Pada prinsipnya teori Thorndike menekankan banyak member praktik dan latihan (drill & practice) kepada peserta didik agar konsep dan prosedur dapat mereka kuasai dengan baik.
2.      Teori Ausube
Teori makna (meaning theory) dari Ausubel (Brownell dan Chazal)
mengemukakan pentingnya pembelajaran bermakna dalam mengajar
matematika. Kebermaknaan pembelajaran akan membuat kegiatan belajar
lebih menarik, lebih bermanfaat, dan lebih menantang, sehingga konsep dan
prosedur matematika akan lebih mudah dipahami dan lebih tahan lama
diingat oleh peserta didik. Kebermaknaan yang dimaksud dapat berupa
struktur matematika yang lebih ditonjolkan untuk memudahkan pemahaman
(understanding).
Wujud lain kebermaknaan adalah pernyataan konsepkonsep dalam bentuk bagan, diagram atau peta, yang mana tampak keterkaitan di antara konsep-konsep yang diberikan. Teori ini juga disebut teori holistik karena mempunyai pandangan pentingnya keseluruhan dalam mempelajari bagian-bagian. Bagan atau peta keterkaitan dapat bersifat hierarkis atau bersifat menyebar (distributif), sebagai bentuk lain dari rangkuman, ringkasan atau ikhtisar.
3.      Teori Jean Piaget
Teori perkembangan intelektual dari Jean Piaget menyatakan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat atau bertahap, yaitu (a) sensori motor (0-2 tahun), pra-operasional (2-7 tahun),
(c) operasional konkret (7-11 tahun), dan (d) operasional > 11 tahun). Teori
ini merekomendasikan perlunya mengamati tingkatan perkembangan intelektual anak sebelum suatu bahan pelajaran matematika diberikan, terutama untuk menyesuaikan "keabstrakan" bahan matematika dengan kemampuan berpikir abstrak anak pada saat itu. Teori Piaget juga menyatakan bahwa setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sekitar atau lingkungan. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa orang selalu belajar untuk mencari tahu dan memperoleh pengetahuan, dan setiap orang berusaha untuk membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya.
Pendapat Piaget ini melandasi penerapan aliran konstruktivisme dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, dan memposisikan peran guru sebagai fasilitator dan motivator agar peserta didik mempunyai kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan mereka.
Dalam kaitannya dengan konsep, Piaget mengasumsikan adanya jaringan
(abstrak) dalam pikiran, yang mana konsep-konsep seperti noktah, dan
konsep yang terkait atau mempunyai bagian kesamaan dihubungkan dengan
garis. Jaringan konsep ini disebut skemata. Setiap rangsangan (pengetahuan baru) akan ditangkap dan dicocokkan dengan konsep-konsep dalam skemata, untuk mencari kesamaan-kesamaan, dan proses ini disebut asimilasi.
Jika ternyata rangsangan itu tidak terkait dengan konsep yang sudah ada maka konsep baru ditambahkan pada skemata, dan proses ini disebut dengan akomodasi. Penerapan dari teori Piaget dalam pembelajaran matematika adalah perlunya keterkaitan materi baru pelajaran matematika dengan bahan pelajaran matematika yang telah diberikan, sehingga lebih memudahkan peserta didik dalam memahami materi baru. Ini berarti bahwa pengetahuan prasyarat dan pengetahuan baru perlu dirancang berurutan sebelum pembelajaran matematika dilaksanakan. Lebih dari itu, agar konsep yang diberikan dapat lebih dipahami, representasi dari asimilasi perlu diwujudkan dalam contoh, dan representasi dari akomodasi perlu diwujudkan dalam bukan contoh. Jika seorang peserta didik sudah mampu menceritakan persamaan (asimilasi) dan perbedaan (akomodasi) tentang dua konsep atau lebih maka ia disebut berada dalam tahap ekuilibrasi. Hal lain yang dikembangkan oleh Piaget adalah pengertian konservasi (kelestarian, kelanggengan).
Seorang anak yang teridentifikasi sudah dalam keadaan
konservasi tertentu, ia dalam keadaan siap untuk menerima materi pelajaran
matematika yang terkait. Beberapa konservasi disebut (a) konservasi bilangan, (b) konservasi panjang, (c) konservasi isi. Sebagai contoh, jika seorang anak yang mampu menyatakan bahwa banyaknya kelereng dari dua keadaan yang ditata berbeda (1) dan (2):
(1) • • • • • •
(2) ••••••
 adalah sama maka ia sudah dalam keadaan konservasi bilangan, dan siap
diajar tentang bilangan cacah. Konservasi luas dapat ditandai antara lain
dengan kemampuan menyatakan luas yang sama dari dua luasan yang
terpisah dan yang menyatu (menggabung) Seperti Gambar 1.1. berikut.
Penerapan dari konservasi luas ini antara lain tangram (tangram 3, 5, 7:
membentuk bangun-bangun berbeda-beda yang menarik tetapi luasnya
sama), mencari rumus luas segi empat khusus (persegi, persegipanjang,
jajaran genjang, belah ketupat, trapesium), menunjukkan kebenaran teorema
Phytagoras, dan menjelaskan pecahan beserta operasi-operasinya.
4.      Teori Vygotsky
Teori Vigotsky berusaha mengembangkan model konstruktivistik belajar mandiri dari Piaget menjadi belajar kelompok. Dalam membangun sendiri pengetahuannya, peserta didik dapat memperoleh pengetahuan melalui kegiatan yang beranekaragam dengan guru sebagai fasilitator. Kegiatan itu dapat berupa diskusi kelompok kecil, diskusi kelas, mengerjakan tugas kelompok, tugas mengerjakan ke depan kelas 2-3 orang dalam waktu yang sama dan untuk soal yang sama (sebagai bahan pembicaraan/diskusi kelas), tugas menulis (karya tulis, karangan), tugas bersama membuat laporan kegiatan pengamatan atau kajian matematika, dan tugas menyampaikan penjelasan atau mengkomunikasikan pendapat atau presentasi tentang sesuatu yang terkait dengan matematika.
Dengan kegiatan yang beragam, peserta didik akan membangun pengetahuannya sendiri melalui membaca, diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, pengamatan, pencatatan, pengerjaan dan presentasi.
5.      Teori Jerome Bruner
Teori Bruner berkaitan dengan perkembangan mental, yaitu kemampuan mental anak berkembang secara bertahap mulai dari sederhana ke yang rumit, mulai dari yang mudah ke yang sulit, dan mulai dari yang nyata atau konkret ke yang abstrak. Urutan tersebut dapat membantu peserta didik untuk mengikuti pelajaran dengan lebih mudah.
Urutan bahan yang dirancang biasanya juga terkait usia atau umur anak. Secara lebih jelas Bruner menyebut tiga tingkatan yang perlu
diperhatikan dalam mengakomodasikan keadaan peserta didik, yaitu
(a) enactive (manipulasi objek langsung), (b) iconic (manipulasi objek tidak
langsung), dan (c) symbolic (manipulasi simbol). Penggunaan berbagai
objek, dalam berbagai bentuk dilakukan setelah melalui pengamatan yang teliti bahwa memang benar objek itu yang diperlukan. Sebagai contoh bagi anak SD kelas 1, tentu mereka dalam situasi enactive, artinya matematika lebih banyak diajarkan dengan manipulasi objek langsung dengan memanfaatkan kerikil, kelereng, manik-manik, potongan kertas, bola, kotak, karet, dan sebagainya, dan dihindari penggunaan langsung simbol-simbol huruf dan lambang-lambang operasi yang berlebihan.
6.      Pemecahan Masalah (George Polya)
George Polya (dalam Posamentier) menyebutkan teknik heuristic (bantuan untuk menemukan), meliputi (a) understand the problem, (b) devise a plan, (c) carry out the plan, dan (d) look back. Pada tahun delapan puluhan, pemecahan masalah merupakan fokus matematika sekolah di Amerika Serikat. Usaha ini merupakan realisasi dari keinginan meningkatkan pembelajaran matematika sehingga peserta didik mempunyai pandangan atau wawasan yang luas dan mendalam ketika mereka menghadapi suatu masalah.
Ada beberapa definisi tentang apa itu suatu masalah. Walaupun Oxford English Dictionary, dijelaskan bahwa "A problem is a doubtful or difficult question: a matter of inquiry, discussion, or thought; a question that exercises the mind". Dari definisi ini dapat diketahui bahwa suatu masalah merupakan pertanyaan untuk melatih pikiran melalui kegiatan inkuiri, diskusi, dan penalaran.
Charles dan Laster (Walk, 1990) mendefinisikan: Suatu masalah adalah suatu tugas yang mana:
1.      seseorang tertantang untuk menyelesaikan,
2.      seseorang tidak mempunyai prosedur yang siap pakai untuk memperoleh selesaian,
3.      seseorang harus melakukan suatu usaha untuk memperoleh selesaian.
Definisi kedua ini lebih jelas karena menunjuk langsung tiga ciri atau sifat mendasar dari suatu masalah: keinginan tanpa petunjuk (yang jelas), dan usaha. Bentuk pertanyaan yang memerlukan pemecahan masalah antara lain (a) soal cerita (verbal/word problems), (b) soal tidak rutin (non-routine mathematics problems), dan (c) soal nyata (real/application problems).
Seseorang mampu menyelesaikan soal cerita jika memahami susunan dan makna kalimat yang digunakan, memilih algoritma atau prosedur yang sesuai, dan menggunakan algoritma atau prosedur yang benar. Kendala utama peserta didik dalam menyelesaikan soal cerita adalah mereka mengalami kesulitan memahami makna bahasa dari kalimat yang digunakan karena adanya istilah matematika yang perlu diganti dalam bentuk lambang, misalnya jumlah, hasil kali, selisih, perbandingan, hasil bagi, dan kaitannya dengan pengertian bahasa:
1.      kembalian (dalam pembelian) terkait pengurangan
2.      pajak (dalam pembelian) terkait penjumlahan;
3.      kehilangan terkait pengurangan;
4.       dan terkait penjumlahan;
5.       setiap (harga barang) terkait perkalian.
Masalah tidak rutin mengajak seseorang untuk berpikir tingkat tinggi karena tidak ada cara, jalan, prosedur atau algoritma yang jelas yang langsung dapat digunakan dan menjamin diperolehnya suatu selesaian. Bisa jadi dalam proses penyelesaian peserta didik melakukan coba-coba (trial & error), merancang tabel, membuat daftar atau membuat grafik.
Soal nyata membuat situasi kehidupan yang sulit yang harus diselesaikan, dan tidak jarang memuat selesaian yang tidak eksak dan beragam. Perhatikan contoh berikut. Suatu panitia rekreasi siswa sekolah mencoba merancang biaya total wisata ke Yogyakarta. Carilah rincian dana yang diperlukan.
Soal di atas bersifat realistis, mempunyai jawaban yang biasanya tidak tunggal, dan menuntut mereka menambah informasi berupa pertanyaanpertanyaan yang terkait dengan masalah (berapa banyak peserta rekreasi, kendaraan apa yang digunakan, berapa lama waktu yang tersedia, objek wisata apa saja yang dikunjungi). Dengan masalah penerapan seperti ini peserta didik mempunyai kesempatan meletakkan bersama konsep dan keterampilan matematika dan mengintegrasikan matematika dengan bidang-bidang yang lain, misalnya bidang ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam.
Penggunaan masalah nyata dapat dimaksudkan sebagai proyek-proyek pengayaan atau perluasan wawasan dalam berbagai bidang bukan matematika. Banyak pendekatan pembelajaran matematika yang bersifat konstruktifistik dan bernuansa pemecahan masalah. Beberapa di antaranya adalah (a) penemuan terbimbing (guided discovery), (b) mathematical investigation (penyelidikan matematikal), (c) open-ended (berakhir terbuka), (d) multiple solutions (banyak selesaian), (e) multiple methods of solution
(banyak cara menyelesaikan), dan (f) writing in mathematics (tugas menulis
matematika).
7.      Teori Van Hiele (Hierarkis Belajar Geometri)
Teori Van Hiele menyatakan bahwa eksistensi dari lima tingkatan yang berbeda tentang pemikiran geometrik, yaitu (a) level 0 (visualisasi), (b) level 1 (analisis), (c) level 2 (deduksi informal), (d) level 3 (deduksi), dan (e) level 4 (rigor). Meskipun keadaan tingkatan tidak secara langsung terkait dengan usia, siswa TK sampai dengan kelas 2 SD biasanya berada pada level 0, dan siswa SD kelas 3-6 SD biasanya berada pada level 1.
Pada level 0, kegiatan siswa cenderung memanipulasikan model fisik, sehingga kemampuan mereka perlu diarahkan pada mengurutkan, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan berbagai bangun geometri. Mereka perlu diberi kesempatan untuk membangun, membuat, menggambar, meletakkan bersama, dan memilah (memisah) bangun-bangun. Sebagai contoh Gambar 1.2. dari potongan bangun-bangun (perlu lebih banyak) mereka secara berkelompok dapat diminta untuk memilih bentuk-bentuk yang sesuai menurut kriteria tertentu.
Dari 4-5 contoh yang berbeda, siswa akan mengamati konsep yang ada. Jika mereka telah sampai pada "kesamaan" atau "persekutuan" maka kita siap menyebutkan nama tanpa harus secara formal mendefinisikannya. Perlu dihindari adanya jawaban benar atau salah, dan penggunaan definisi.
Beberapa hasil identifikasi antara lain adalah:
Pada level 1, kegiatan siswa cenderung seperti level 0, tetapi mulai dapat mengkaji sifat-sifat bangun. Kemampuan mereka mulai mengarah ke
klasifikasi bangun berdasarkan bentuk dan nama. Mereka juga sudah mampu
m mendefinisikan, mengukur, mengamati, dan menyebutkan sifat-sifat bangun. Mereka dapat membedakan segitiga (sama sisi, sama kaki, sebarang, lancip, tumpul, siku-siku), segiempat (persegi, persegi panjang, jajar genjang, belah ketupat), trapesium, sebarang), kurva (cekung, cembung, sederhana, tidak sederhana, tertutup, tidak tertutup).
Pada level 2, peserta didik mempunyai kemampuan menggunakan model untuk mencari sifat-sifat misalnya menyebutkan persegi panjang adalah jajar genjang dengan sudut-sudut yang siku, dan mengatakan persegi adalah persegi panjang dan jajar genjang. Selanjutnya, untuk suatu bangun, misalnya persegi panjang, mereka mampu menyebut sifat-sifat: mempunyai empat sisi, mempunyai empat sudut siku, sisi yang berhadapan sejajar, diagonal-diagonal saling berpotongan, sisi yang berurutan tegak lurus, sisi-sisi yang berhadapan sama panjang, mempunyai dua simetri.
Jadi mereka mulai dapat bernalar deduktif secara informal, yaitu menggunakan jika - maka dan biasanya cocok untuk kelas 1 dan kelas 2 SMP. Level 3 ditandai dengan kemampuan menggunakan sistem aksiomatik deduktif dan menyusun pembuktian, dan diperkirakan cocok untuk siswasiswi di SMA. Level 4 ditandai dengan kemampuan membedakan dan mengaitkan sistem-sistem aksiomatik yang berbeda, dan merupakan level dari matematis.
8. RME (Realistic Mathematics Education)
Freudenthal dan Treffers adalah tokoh-tokoh yang mengembangkan
RME, yang pada awalnya terjadi di Belanda, dan digunakan sebagai
pendekatan untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika, melalui
kegiatan yang disebut pematematikaan. Pematematikaan horizontal
dimaksudkan untuk memulai pembelajaran matematika secara konstektual,
yaitu mengaitkannya dengan situasi dunia nyata di sekitar siswa atau keadaan
kehidupan sehari-hari. Dengan cara seperti ini, siswa merasa dekat dan tertarik terhadap materi pelajaran matematika. Namun demikian,
pematematikaan horizontal saja belum cukup, mereka perlu mendalami dan
memahami konsep-konsep matematika dengan benar, melalui kegiatan yang
disebut pematematikaan vertikal.
Jika pematematikaan horizontal dilambangkan H, dan pematematikaan vertikal dilambangkan V, serta tekanan yang lebih dilambangkan H+ atau V+ , dan tekanan yang kurang dilambangkan H− atau V− maka RME bersifat H+ atau V+ . Pembelajaran matematika yang lain dapat dinyatakan sebagai H− dan V− dan untuk mekanistik (drill & practice), H+ dan V− untuk empirik, H− dan V+ untuk strukturistik.
8.      Peta Konsep
Peta konsep merupakan implementasi pembelajaran bermakna dari
Ausubel, yaitu kebermaknaan yang ditunjukkan dengan bagan atau peta,
sehingga hubungan antarkonsep menjadi jelas, dan keseluruhan konsep
teridentifikasi. Jenis peta konsep dapat menyebar atau tegak, dengan susunan
dari konsep umum ke konsep khusus, dan setiap perincian dihubungkan dengan kata kerja.
Pembuatan peta konsep terhadap suatu materi matematika
dapat dibuat oleh siswa sebagai tugas individual atau kelompok pada akhir
pembelajaran. Sebagai contoh, peta konsep dapat dibuat sebagai rangkuman
dalam pembicaraan bangun datar segiempat, antara lain adalah:

B.     Pelaksanaan Pembelajaran Matematika yang Konstruktivistik
Masa  kini dan masa mendatang terjadi penuh perkembangan dan
perubahan yang cepat dan mendasar dalam berbagai aspek
kehidupan, antara lain perkembangan di bidang-bidang sains, teknologi,
sosial, budaya, dan perubahan dalam perdagangan, pemerintahan, dan
pergaulan dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kehidupan sekarang dan
mendatang penuh dengan tantangan dan persaingan.
Untuk mampu bertahan hidup serta mampu menghadapi tantangan,
persaingan, ketidakpastian, dan permasalahan pelik dan rumit, generasi muda
sekarang perlu memperoleh bekal pengetahuan, pengalaman, kemampuan, dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan.
Dengan demikian kita memerlukan pendidikan bermutu tinggi untuk membawa generasi muda menjadi manusia yang cerdas, ahli, terampil, cinta tanah air, mempunyai dedikasi dan tanggung jawab yang tinggi terhadap kemajuan bangsa dan negara, dan berkompeten dalam pembangunan. Dasar pengembangan pendidikan yang bermutu tinggi adalah prinsip belajar sepanjang hayat (Puskur, 2002:2) dan empat pilar (tiang) belajar yang dikemukakan UNESCO (Yabe, T., 2001:1) yaitu (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Prinsip-prinsip tersebut mendasari pengembangan pendidikan untuk menghasilkan kompetensi peserta didik sesuai dengan tingkatan belajar di sekolah.
Peserta didik yang kompeten artinya peserta didik yang cerdas,
cakap, mampu memahami dengan baik bahan yang diajarkan, mampu
bersikap, bernalar, dan bertindak sesuai prosedur yang benar, dan
mengembangkan integritas kebersamaan dalam perbedaan.
A.    PROSES PENDIDIKAN
Untuk menjadi siswa yang berkompeten, setiap siswa mengikuti proses pendidikan berupa pembelajaran. Dalam proses pembelajaran terdapat serangkaian kegiatan untuk memberikan pengalaman belajar yang berkaitan  dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Proses merupakan factor penting untuk memperoleh hasil yang baik dan memuaskan.
Gambaran tentang hubungan komponen-komponen proses
penyelenggaraan pendidikan adalah sebagai berikut.
Gambar 1.9.
Guru merupakan komponen proses yang utama sebab guru adalah pelaksana dari proses itu sendiri. Agar guru dapat melaksanakan proses yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan, guru perlu mempertimbangkan kedudukan keluaran:
1)      kompetensi individual, kelompok, dan klasikal,
2)      keberagaman hasil (keluaran),
3)      kesesuaian penilaian, evaluasi atau asesmen,
4)      pemberdayaan berbagai sumber belajar,
5)      strategi pembelajaran untuk mencapai sasaran,
Dan mempertimbangkan sifat-sifat masukan sebagai:
1.      makhluk Tuhan,
2.       individu yang mandiri,
3.      makhluk sosial dan budaya, anggota berbagai kelompok masyarakat,
4.      anggota abad informasi,
5.      sumber belajar,
6.      anak yang sedang belajar dan dalam tahap pertumbuhan (teori belajar,
motivasi).
Dengan gambaran di atas maka ciri dan/atau prinsip dalam proses
pembelajaran agar siswa mempunyai kompetensi yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan saat ini dan mendatang adalah:
1.      berorientasi pada siswa,
2.      mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat dan beragam,
3.      memperhatikan teori pendidikan dan teori belajar,
4.      mengusahakan suasana yang demokratis, partisipatif, dan kooperatif,
5.      mengembangkan penilaian (evaluasi) yang menyeluruh dan beragam
(tidak hanya dalam bentuk tes, tetapi juga dalam bentuk-bentuk lain
portofolio, tugas (proyek), karya tulis, karya kerja (kinerja),
6.      memperhatikan ciri pokok keilmuan dari bidang studi atau materi yang sedang dipelajari.

B.     PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang
dipelajari.
Salah satu komponen yang menentukan ketercapaian kompetensi adalah penggunaan strategi pembelajaran matematika, yang sesuai dengan:
v  Topic yang sedang dibicarakan,
v  tingkat perkembangan intelektual peserta didik,
v  prinsip dan teori belajar
v  keterlibatan aktif peserta didik,
v  keterkaitan dengan kehidupan peserta didik sehari-hari, dan
v  pengembangan dan pemahaman penalaran matematis.
Beberapa strategi pembelajaran matematika yang konstruktivistik dan dianggap sesuai pada saat ini antara lain
1.      Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Ciri utama problem solving (pemecahan masalah) dalam matematika adalah adanya masalah yang tidak rutin (non-routine problem). Masalah seperti ini dirancang atau dibuat agar siswa tertantang untuk menyelesaikan. Meskipun peserta didik pada awalnya mengalami kesulitan mengerjakan pemecahan masalah karena tidak ada aturan, prosedur atau langkah-langkah yang segera dapat digunakan, mereka menjadi terbiasa dan cerdas  memecahkan masalah setelah mereka memperoleh banyak latihan.
Banyak manfaat dari pengalaman memecahkan masalah, antara lain adalah peserta didik menjadi (1) kreatif dalam berpikir, (2) kritis dalam menganalisis data, fakta, dan informasi, (3) mandiri dalam bertindak dan bekerja. Sasaran utama pemecahan masalah adalah (1) soal yang mempunyai banyak selesaian (multiple solution), (2) soal yang diperluas (extending problem), dan (3) soal yang mempunyai banyak cara menyelesaikan (multiple methods of solution).
Kohesi (2000) mengungkapkan tiga kegiatan dalam
pemecahan masalah, yaitu solving problem, posing problem, dan
exploring open-ended problem. Negara-negara maju menempatkan pemecahan masalah sebagai fokus dalam pendidikan matematika (Kohesi, 2000; NCTM, 1987).Beberapa contoh kegiatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan masalah.
Contoh 2.1 (Banyak selesaian)
Guru memberikan soal/masalah kepada kelas sebagai berikut. Perhatikan susunan bilangan berikut: 2, 5, 8, 11, 14,..., 29
Kemudian guru meminta setiap siswa untuk mencari paling sedikit 3 keadaan atau sifat yang dimiliki susunan bilangan tersebut. Soal semacam ini tidak biasa (tidak rutin) dibuat oleh guru, sehingga pada awalnya tentu guru juga mengalami kesulitan tentang "keinginan" yang tersirat dalam soal ini. Siswa pada awalnya juga mengalami kesulitan untuk memahami maksud soal ini karena memang tidak ada petunjuk yang jelas cara menjawabnya, sehingga mereka mempunyai kesempatan untuk
mengembarakan imajinasi pikiran, dan penalaran menjangkau wilayah
"ketanggapan bilangan (number sense)" yang luas.
Beberapa jawaban yang semuanya benar antara lain adalah:
a.       susunan bilangan itu dimulai dengan 2,
b.      susunan bilangan itu diakhiri dengan 29,
c.       bilangan-bilangan itu berurutan dari yang kecil ke yang lebih besar,
d.      bilangan-bilangan itu bergantian ganjil dan genap,
e.       bilangan-bilangan itu semuanya positif,
f.       bilangan-bilangan itu semuanya bulat,
g.      banyaknya bilangan yang disusun adalah sepuluh,
h.      selisih bilangan ke satu dan ke dua adalah 3,
i.        selisih bilangan ke satu dan ke dua sama dengan selisih bilangan ke dua dan ke tiga,
j.        selisih dua bilangan yang berurutan adalah sama,
k.      selisih dua bilangan yang berurutan adalah 3.
Dari jawaban-jawaban di atas dapat diketahui bahwa banyak konsep muncul menyertai pikiran siswa (urutan, ganjil, genap, positif, bulat, banyak,selisih). Potensi ini tumbuh dan berkembang dari pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada masing-masing siswa menjadi sumber belajar (yang biasanya hanya guru).
Siswa merasa gembira dan bangga karena masing-masing jawaban dihargai oleh yang lain sehingga keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat dan pikirannya meningkat, serta kesadaran akan perbedaan dan mau menerima pendapat orang lain dapat tumbuh seiring dengan bertambahnya kegiatan mereka dalam memecahkan masalah.
Masalah ini bisa diperluas (extended) atau diperdalam antara lain dengan menanyakan 3 bilangan berikutnya atau menanyakan bilangan ke-50 jika susunan bilangan itu ditambah. Siswa dapat juga diberi kesempatan mencari contoh lain dan menyelesaikan/menjawab atau mengerjakan pertanyaanpertanyaan serupa (problem posing).
Contoh 2.2 (Banyak selesaian)
Guru menyampaikan masalah kepada kelas sebagai berikut: Dari lima bilangan,
Suatu bilangan harus dikeluarkan karena tidak memenuhi syarat kelompok. Carilah bilangan yang harus dikeluarkan, sebutkan syarat yang tidak dipenuhi, dan carilah bilangan pengganti yang sesuai. Masalah ini menuntut siswa untuk mengembara dalam wilayah aturan mengklasifikasikan (mengelompokkan) bilangan, mencari contoh dan bukan contoh.
Beberapa jawaban yang benar adalah:
1.      10 dikeluarkan karena aturan pengelompokan adalah bilangan yang lambangnya terdiri atas satu angka. Pengganti 10 antara lain adalah 9;
2.      7 dikeluarkan karena aturan pengelompokan adalah bilangan genap. Pengganti 7 antara lain adalah 2;
3.      4 dikeluarkan karena aturan pengelompokan adalah bilangan asli lebih dari 5. Pengganti 4 antara lain adalah 12;
4.       6 dikeluarkan karena aturan pengelompokan adalah bilangan asli bukan kelipatan dari 3. Pengganti 6 antara lain adalah 13;
5.      8 dikeluarkan karena aturan pengelompokan adalah bilangan asli yang tidak dapat dinyatakan sebagai perpangkatan 3 dari suatu bilangan. Pengganti 8 antara lain adalah 9.
Dari jawaban-jawaban benar di atas dapat diketahui betapa kaya konsepkonsep yang muncul, yaitu bilangan berlambang 2 angka, bilangan genap, kelipatan, dan perpangkatan. Perluasan dari masalah ini adalah para siswa diminta memilih sendiri lima bilangan (bahkan bisa lebih dari lima bilangan), kemudian diminta serupa. Bahkan bilangan yang dikeluarkan dari kelompok bias lebih dari satu bi1angan.
Contoh 2.3 (Banyak Cara Menyelesaikan)
Guru memberikan soal (masalah) kepada kelas sebagai berikut. Dari susunan bilangan:
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
Carilah jumlahnya dan sebutkan bagaimana kamu memperoleh jumlah itu. Jawaban dari soal ini adalah 55, tetapi cara memperoleh jawaban itu banyak. Beberapa jawaban yang mungkin diperoleh adalah:
1.      menjumlahkan satu per satu bilangan, mulai dari yang pertama sampai dengan yang terakhir.
2.      menggabungkan dua-dua bilangan menurut cara tertentu:
           Ada 5 pasangan, dan setiap pasang berjumlah 11, berarti jumlah semua bilangan adalah 5 × 11 = 55.
3.       menyusun ulang bilangan dan memasangkan, kemudian mencari jumlah bilangan dalam setiap pasangan

4.       menyusun ulang bilangan dan memasangkan, kemungkinan mencari jumlah bilangan dalam setiap pasangan
5.      menyusun ulang bilangan dan memasangkan, kemudian mencari pasangan-pasangan yang berjumlah sama
Hal yang serupa dapat dilakukan untuk susunan-susunan yang lain, misalnya:
2.      Penyelidikan Matematis (Mathematical Investigation)
Penyelidikan matematis adalah penyelidikan tentang masalah yang dapat dikembangkan menjadi model matematika, berpusat pada tema tertentu, berorientasi pada kajian atau eksplorasi mendalam, dan bersifat open-ended. Kegiatan belajar yang dilaksanakan dapat berupa cooperative learning.
Contoh 2.4
Guru menyampaikan suatu masalah yang bertema persamaan linear: Seorang peternak sapi mempunyai tiga kandang, jumlah ternak pada kandang pertama dan kedua adalah 12, jumlah ternak pada kandang pertama dan ketiga adalah 8, dan jumlah ternak pada kandang kedua dan ketiga adalah 6. Berapa banyaknya sapi seluruhnya milik peternak itu? Untuk menjawab soal ini para siswa dikelompokkan dalam 3-5 orang (cooperative learning).
Mereka diminta membahas atau membicarakan cara
menyelesaikan. Sebagai gantinya sapi mereka bisa diberi kerikil,
butiran atau manik-manik, sehingga memudahkan atau membantu mereka. Hasil penyelidikan dari kelompok yang sudah bisa menjawab diminta untuk menyampaikan kepada kelas. Tentu mereka tidak dapat disalahkan jika mereka menyebutkan cara coba-coba (trial and error). Kelompok yang cerdas barangkali sudah membuat cara sistematis dengan merinci berbagai cara untuk memperoleh jumlah tertentu dengan model tabel:
Artinya, jika kandang ke-2 berisi 0 sapi berarti kandang 1 berisi 12 sapi dan seterusnya. Kemudian mengaitkan dengan fakta, yaitu memusatkan perhatian pada kandang pertama
Baris ke-1 : 6 + 2 = 8, tetapi 0 + 2 ≠ 12
Baris ke-2 : 5 + 3 = 8, tetapi 1 + 3 ≠ 12
Baris ke-3 : 4 + 4 = 8, tetapi 2 + 4 ≠ 12
Baris ke-4 : 3 + 5 = 8, tetapi 3 + 5 ≠ 12
Baris ke-5 : 2 + 6 = 8, tetapi 4 + 6 ≠ 12
Baris ke-6 : 1 + 7 = 8, tetapi 5 + 7 = 12
Baris ke-7 : 0 + 8 = 8, tetapi 6 + 8 ≠ 12
     Artinya, bila kandang ke-3 berisi 6 sapi dan kandang ke-1 berisi 2 sapi maka 6 + 2 = 8. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Kandang Kedua berisi 5 sapi, Kandang Ketiga berisi 1 sapi, dan Kandang Pertama berisi 7 sapi. Model lain yang mungkin dapat mereka kembangkan adalah menggunakan gambar, misalnya:
Pengembangan yang bersifat open-ended dapat dilakukan dengan meminta siswa memilih sendiri tiga bilangan, dan mencari nilai-nilai x, y,dan z yang memenuhi dari Gambar 1.10.
Contoh 2.5
Guru menyampaikan suatu masalah yang bertema barisan bilangan:Ada 10 orang siswa hadir dalam suatu rapat. Jika setiap orang harus berjabatan tangan dengan orang lain satu kali maka berapa banyak jabatan tangan yang dilakukan?
Serupa dengan contoh 1.3, para siswa dapat dikelompokkan dalam
3-5 orang. Penyelidikan mereka boleh saja dilakukan dengan praktik di antara mereka.
Misalnya mereka (dalam satu kelompok) adalah 5 orang, yaitu A, B,C, D, dan E. Dari 5 orang ini, setelah dipraktikkan dilakukan perhitungan: AB, AC, AD, AE; BC, BD, BE; CD, CE; DE, yaitu 4 + 3 + 2 + 1 = 1 + 2 + 3 + 4 = 10. Kalau sekarang bertambah menjadi 10 orang maka dengan melihat pola, dapat diketahui bahwa banyaknya berjabatan tangan sama dengan:
Untuk membantu penyelidikan mereka, dapat juga guru membimbing mereka menggunakan model, misalnya model lingkaran.
3.      Penemuan Terbimbing
Penemuan terbimbing adalah suatu kegiatan pembelajaran yang mana guru membimbing siswa-siswanya dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis sehingga mereka merasa menemukan sesuatu.
Apa yang diperoleh siswa bukanlah temuan-temuan baru bagi guru, tetapi bagi siswa dapat mereka rasakan sebagai temuan baru.
Agar siswa-siswa dapat mengetahui dan memahami proses penemuan,
mereka perlu dibimbing antara lain dengan menggunakan pengamatan dan pengukuran langsung atau diarahkan untuk mencari hubungan dalam wujud "Pola" atau bekerja secara induktif berdasarkan fakta-fakta khusus untuk memperoleh aturan umum.
Contoh 2.6
Guru menyampaikan masalah sebagai berikut.
Carilah 65 × 65 dan 75 × 75 tanpa mengerjakan perkalian secara
langsung.Bagaimana pula dengan 85 × 85 dan 95 × 95?
Bimbingan dilakukan guru menggunakan kasus-kasus yang lebih
sederhana:
Contoh 1.7
Guru menyampaikan masalah dengan membuat suatu bangun persegipanjang
            
Siswa kemudian diminta (secara individual atau kelompok) untuk
mengukur berbagai "komponen" dari persegi panjang.
Dari hasil pengukuran banyak orang inilah kemudian diidentifikasi berbagai sifat persegi panjang yang terkait dengan sisinya, sudutnya, diagonalnya, luasnya, dan kelilingnya.
Contoh 1.8
Guru dapat membimbing siswa untuk menemukan FPB dan KPK dua
bilangan, serta hubungan antara FPB dan KPK (guru tidak langsung
memberikan aturan).
4.      Contextual Learning
Contextual Learning adalah pengelolaan suasana belajar yang
mengaitkan bahan pelajaran dengan situasi dan/atau kehidupan sehari-hari,hal-hal yang faktual atau keadaan nyata yang dialami siswa.
Contoh 1.9
Perhatikan susunan kelereng (kerikil, manik-manik) berikut.
(susunan ini faktual karena dapat menjadi ornamen atau hiasan sesuatu). Susunan kelereng di atas dapat saja diganti susunan yang lain, misalnya
susunan batu bata.
Permasalahan utama adalah mencari banyaknya benda pada susunan ke n
(n = 1, 2, 3, 4, ...).
Contoh 1.10
Siswa dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok 3 pria dan 2 wanita.
Mereka diminta membagi 20 lembar uang ribuan (kelereng, kerikil) sehingga
setiap pria menerima jumlah yang sama, setiap wanita menerima jumlah yang
sama, pria dan wanita boleh menerima tidak sama.
Contoh 1.11
Seorang harus membayar pembelian belanja sebesar 1000 rupiah. Jika di
dompet hanya terdapat di dalamnya lembaran-lembaran lima-ratusan dan
seratusan maka ada berapa cara membayar pembelian belanja tersebut?














BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Guru matematika yang profesional dan kompeten mempunyai wawasan landasan yang dapat dipakai dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika. Teori-teori yang berpengaruh untuk pengembangan dan perbaikan pembelajaran matematika.
proses pembelajaran untuk menghasilkan kompetensi perlu mendapatkan
penanganan dari guru secara sungguh-sungguh karena guru benar-benar
secara sadar bersedia membuat persiapan dan bekerja lebih interaktif. Sebagai pembelajaran yang relatif berbeda dengan sebelumnya, guru dituntut lebih kreatif dan responsif untuk merencanakan pembelajaran berbasis kompetensi dari topik-topik matematika di dalam kurikulum sekolah.
Keuntungan utama dari penerapan pembelajaran berbasis kompetensi bagi siswa adalah keawetan ingatan (lebih teringat) dan kecerdasan intelektual (meningkat) karena terlatih melihat sesuatu secara menyeluruh dengan memperhatikan berbagai aspek. Kemampuan individual dan kerja sama juga meningkat karena kegiatan pembelajaran diarahkan tidak selalu klasikal, dan kerja kelompok mendapatkan perhatian.
B.     SARAN
Sebagai guru kita harus mengetahui  tentang teori belajar khususnya dalam pembelajaran matematika , sehingga kita mampu merancang pembelajaran yang sesuai dengan materi yang hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan teori belajar yang dirujuk serta mampu melakukan pembelajaran matematika sesuai dengan landasan pelaksanaan pembelajaran matematika sd.



DAFTAR PUSTAKA