BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis sekolah merupakan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak.
Perubahan ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem atau struktur,
kultur, maupun figur, dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen pendidikan. Oleh
karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali
jadi dengan hasil yang langsung baik. Dengan demikian, fleksibilitas,
eksperimentasi, dan cara berpikir komprehensif yang menghasilkan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah
perlu didorong.
Dengan kata lain, sistem manajemen pendidikan yang
sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi
peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus
tertentu, manajemen sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan
kreativitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan.
Untuk mengatasi terjadinya stagnasi atau kemandekan pada bidang pendidikan ini
diperlukan adanya paradigma baru dalam bidang pendidikan.
Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah,
terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke
arah desentralisasi sistem pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin
tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan
melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Kebijakan MBS
bukan sekedar mengubah pendekatan sistem pengelolaan sekolah dari yang
sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan
muncul kemandirian sekolah. Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk
ikut serta mengontrol dan menjaga kualitas layanan pendidikan akan lebih
terbuka. Dengan demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi
antarlembaga yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai.
Penerapan konsep MBS berkaitan erat dengan
elemen-elemen sistem pendidikan lainnya, seperti standar nasional, kurikulum
berbasis kompetensi, evaluasi yang independen, akreditasi, sertifikasi,
profesionalisme ketenagaan, serta pengalokasian dana dan sumber daya pendidikan
lainnya, terutama partisipasi masyarakat melalui Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah. Semuanya itu bertujuan untuk mencapai efektivitas, efisiensi, dan
relevansi sistem pendidikan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, unit ini terdiri atas
2 subunit. Subunit 1 mengupas konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah; dan
Subunit 2 membahas fungsi-fungsi Manajemen Berbasis Sekolah. Masing-masing
subunit ini akan dilengkapi dengan ilustrasi yang berguna bagi Anda untuk
membantu memahami konsep dasar MBS.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah konsep dasar manajemen berbasis sekolah?
2. Apa sajakah fungsi-fungsi manajemen
berbasis sekolah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep dasar
manajemen berbasis sekolah
2. Untuk mengetahui apa saja fungsi-fungsi
manajemen berbasis sekolah
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Konsep
Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
A. Pola
Baru Manajemen Pendidikan
Perubahan
dalam manajemen pendidikan disebabkan oleh lemahnya pola lama manajemen
pendidikan nasional yang selama ini bersifat sentralistik. Otonomi daerah telah
mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama menuju pola baru
manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih
demokratis. Kebijakan ini diterapkan pemerintah dalam kerangka meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu adalah perubahan
dalam manajemen pendidikan. Di dalam MPMBS disebutkan bahwa terdapat beberapa
dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari pola lama menuju pola baru
manajemen pendidikan.
Terdapat
perbedaan yang mendasar antara pola lama dengan pola baru manajemen pendidikan.
Pada pola lama manajemen pendidikan, tugas dan fungsi sekolah lebih pada
melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan
program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sementara itu, pada
pola baru manajemen pendidikan sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan
partsisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola
lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan
birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih
didorong oleh motivasi-diri sekolah daripada diatur dari luar sekolah, regulasi
pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi
mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko
menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun
ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting),
lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih
mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih
efisien. Saudara, Anda dapat memperhatikan dengan seksama bahwa dimensi pola
baru manajemen pendidikan tersebut menjiwai pelaksanaan MBS.
B. MBS
dan Peningkatan Mutu Pendidikan
Apakah
mutu itu? Apakah ada jaminan bahwa penerapan pembaharuan dalam pola manajemen
(pengelolaan) sekolah (MBS) dengan peningkatan mutu sekolah atau pendidikan?.
Pertanyaan tersebut juga dikemukakan oleh AbuDuhou (1999), Wohlstetter &
Mohrman (1996). Beberapa penelitian dan kajian MBS di beberapa negara
menunjukkan bahwa MBS tidak serta merta menjamin peningkatan mutu pendidikan,
terutama apabila MBS dilaksanakan secara sempit atau dilaksanakan secara
parsial. Namun demikian, bukan berarti MBS tidak ada kaitannya sama sekali
dengan peningkatan mutu pendidikan.
Untuk
menjawab sejauh mana keterkaitan antara MBS dan mutu pendidikan, perlu ada
pemahaman bersama tentang konsep mutu pendidikan, karena persepsi tentang mutu
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Sejauh mana konsep tentang
mutu dan strategi peningkatan mutu dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan
dalam kerangka MBS.
Mutu, dalam pengertian umum dapat
diartikan sebagai derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa
barang atau jasa. Mutu dapat bersifat abstrak, namun dapat dirasakan, baik itu
berupa barang atau jasa. Oleh karena itu makna mutu akan berbeda antara orang
yang satu dengan orang lainnya, tergantung dari sudut pandang dan kebutuhannya
(Sallis, 1993). Dalam konteks pendidikan banyak pendapat tentang mutu. Namun
demikian, kajian tentang mutu dalam pendidikan dapat ditinjau dari aspek input,
proses, output dan dampak serta manfaat.
Pendidikan
yang bermutu mengacu pada berbagai input seperti tenaga pengajar, peralatan,
buku, biaya pendidikan, teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan
dalam proses pendidikan. Ada pula yang mengaitkan mutu pada proses
(pembelajaran), dengan argumen bahwa proses pendidikan (pembelajaran) itu yang
paling menentukan kualitas. Jika mutu ingin diraih, maka proses harus diamati
dan dijadikan fokus perhatian. Melalui proses, penyelenggara pendidikan dapat
mengembangkan pendidikan, metoda, dan teknik-teknik pembelajaran yang dianggap
efektif. Orientasi mutu dari aspek output mendasarkan pada hasil pendidikan
(pembelajaran) yang ditunjukkan oleh keunggulan akademik dan nonakademik di
suatu sekolah.
Saudara,
banyak sekolah yang mulai sadar bahwa antara berbagai input, proses, dan
output, perlu diperhatikan secara seimbang. Bahkan untuk menjamin mutu,
langkah-langkah sudah dimulai dari misi, tujuan, sasaran, dan target dalam
bentuk desain perencanaan yang mantap. Para pendidik harus selalu sadar akan
hasil yang akan diperoleh bagi siswa setelah melalui proses pembelajaran
tertentu, dan gambaran akan hasil yang ingin dicapai itu pada gilirannya akan
memberikan motivasi untuk mengembangkan input dan proses yang sesuai. Bahkan
saat ini mutu pendidikan tidak hanya dapat dilihat dari prestasi yang dicapai,
tetapi bagaimana prestasi tersebut dapat dibandingkan dengan standar yang
ditetapkan, seperti yang tertuang di dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 35 dan PP
No. 19 Tahun 2005.
Penetapan
standar untuk melihat mutu pendidikan masih banyak yang didasarkan pada
keinginan yang kuat dari pengguna (customer) dan pemangku kepentingan
(stakeholder) pendidikan. Termasuk pengguna (customer) dan pemangku kepentingan
adalah siswa, guru, orang tua pengguna jasa pendidikan, pengguna jasa lulusan
yang menuntut kompetensi tertentu sebagai indikator kelayakan bagi yang
bersangkutan untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan, atau berbagai peran
dalam kehidupan sosial – yang merupakan output pendidikan. Sementara masalah
input dan proses dianggap sebagai masalah internal sekolah yang merupakan
prerogatif profesi tenaga kependidikan. Sebenarnya, input, proses, dan output
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan masalah internal
atau eksternal yang akan menentukan mutu pendidikan sekolah.
Dari
segi lingkup kompetensi yang harus dicapai begitu luas. Pandangan tentang mutu
pun kemudian meliputi berbagai aspek kompetensi. Bukan hanya menyangkut ranah
kognitif tetapi juga afektif, psikomotor, dan bahkan spiritual. Mutu tidak
hanya terfokus pada pencapaian atau prestasi akademis (academic achievement),
tetapi juga bidang-bidang nonakademik, seperti prestasi seni, ketrampilan
sosial, keterampilan vokasional, serta penghayatan dan pengamalan spiritual
dalam bentuk budi pekerti luhur. Yang sering menjadi masalah adalah bagaimana
menilai secara akurat berbagai aspek kompetensi tersebut. Apalagi kalau
seluruhnya harus berdasarkan standar nasional. Sementara itu, sebagian ranah
kemampuan yang dicapai untuk sebagian relatif sukar mengukurnya. Beberapa jenis
kompetensi juga banyak yang lebih bersifat lokal, seperti keterampilan
vokasional, keterampilan sosial, serta budi pekerti.
Menurut
Sallis (1993), terdapat tiga pengertian konsep mutu. Pertama, mutu sebagai
konsep yang absolut (mutlak), kedua, mutu dalam konsep yang relatif, dan ketiga
mutu menurut pelanggan.
Dalam
pengertian absolut, sesuatu disebut bermutu jika memenuhi standar yang tertinggi
dan tidak dapat diungguli, sehingga mutu dianggap sesuatu yang ideal yang tidak
dapat dikompromikan, seperti kebaikan, keindahan, kebenaran. Mutu dalam konsep
ini menunjukkan keunggulan status dan posisi dengan mutu tinggi (high quality).
Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu absolut bersifat
elit karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang dapat memberikan pendidikan
dengan high quality kepada siswa, dan sebagian besar siswa tidak dapat
menjangkaunya.
Sungguhpun
jumlah lembaga pendidikan dalam pengertian absolut ini sangat terbatas dan
sulit untuk dijadikan rujukan karena tidak ada standar yang umum, dalam
pembicaraan sehari-hari banyak orang berbicara tentang mutu pendidikan, dengan
mengacu pada pengertian absolut ini. Kualitas dalam pengertian absolut dapat
menjadi sesuatu yang relatif dan bersifat dinamis, kalau suatu ketika muncul
lembaga lain yang dipersepsi masyarakat sebagai yang terbaik, dengan standar
tertinggi.
Dalam
pengertian relatif, mutu bukanlah suatu atribut dari suatu produk atau jasa,
tetapi sesuatu yang berasal dari produk atau jasa itu sendiri. Artinya, sesuatu
dikatakan bermutu apabila suatu produk atau jasa telah memenuhi persyaratan
atau kriteria, atau standar yang ada. Produk atau jasa tersebut tidak harus
terbaik, tetapi memenuhi standar yang telah ditetapkan, termasuk memenuhi
tujuan pelanggan. Jadi pada konteks ini sangat tergantung standarnya, apakah
standar tinggi, sedang, atau rendah. Dalam konsep relatif, produk yang bermutu
adalah yang sesuai dengan tujuannya.
Menurutnya,
terdapat dua aspek dari mutu relatif, yaitu mutu yang mendasarkan pada standar,
dan mutu yang memenuhi kebutuhan pelanggan. Aspek pertama menunjukkan bahwa
mutu diukur dan dinilai berdasarkan persyaratan kriteria dan spesifikasi
(standar-standar) yang telah ditetapkan lebih dulu. Pemenuhan standar ini
ditunjukkan oleh produsen secara konsisten sehingga hasilnya (produk maupun
jasa) tetap sesuai spesifikasi yang ditetapkan. Upaya menjaga kualitas secara
konsisten berdasarkan sistem yang dianut dan dimiliki oleh lembaga produsen
tersebut biasa disebut “penjaminan mutu” atau “quality assurance”. Aspek kedua,
konsep ini juga mengakomodasi keinginan konsumen atau pelanggan, sebab di dalam
penetapan standar (persyaratan, kriteria, dan spesifikasi) produk dan/atau jasa
yang dihasilkan memperhatikan syarat-syarat yang dikehendaki pelanggan.
Perubahan-perubahan standar antara lain juga didasarkan atas keinginan dan
pemenuhan kebutuhan pelanggan, bukan sematamata kehendak produsen.
Saudara,
kalau memperhatikan dua aspek konsep relatif dari mutu tersebut, menunjukkan
bahwa standar bersifat dinamis, dan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan
perubahan lingkungan yang terjadi. Oleh karena itu, mutu dalam konsep relatif
ini dapat terus berkembang dan lembaga dapat terus melakukan inovasi untuk
meningkatkan spesifikasi dan standar serta menyesuaikan dengan kebutuhan
pelanggannya. Menurut pengertian pelanggan (kalau di bidang pendidikan bisa
juga disebut dengan pemakai jasa pendidikan), mutu adalah sesuatu yang
didefinisikan oleh pelanggan. Pelanggan adalah penilai utama terhadap mutu.
Pelanggan dianggap penentu akhir tentang mutu suatu produk atau jasa, karena
tanpa mereka, suatu lembaga tidak dapat hidup atau tidak akan ada. Dengan
konsep ini, ujung-ujungnya adalah kepuasan pelanggan, sehingga mutu ditentukan
sejauh mana ia mampu memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka atau bahkan
melebihi. Karena kepuasan dan keinginan adalah suatu konsep yang abstrak, maka
pengertian kualitas dalam hal ini disebut “kualitas dalam persepsi – quality in
perception”.
Dalam
konteks pendidikan, produk dari lembaga pendidikan berupa jasa. Kepuasan
pelanggan (siswa, orang tua dan masyarakat) dapat dibagi dalam dua aspek yaitu
tata layanan pendidikan dan prestasi yang dicapai siswa. Dari aspek tata
layanan pendidikan, kepuasan pelanggan dilihat dari layanan penyelenggaraan
pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan, seperti layanan bagi siswa dalam
proses pembelajaran. Sedangkan dari aspek prestasi yang dicapai siswa, mutu
dihubungkan dengan capaian yang telah diperoleh dalam kaitannya dengan
kompetensi yang diinginkan oleh pelanggan.
Dari
ketiga konsep mutu tersebut, konsep mana yang dianut dalam praktek
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia? Kalau dicermati dari praktek
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, ketiga konsep di atas digunakan secara
integrasi, baik mutu dalam pengertian absolut, relatif (standar), maupun
kepuasan pelanggan.
Di
Indonesia, mutu dalam pengertian absolut dapat kita lihat dari adanya beberapa
sekolah unggulan, baik yang berasal dari sekolah yang berbasis masyarakat
maupun sekolah yang diprakarsai oleh pemerintah. Beberapa sekolah yang
”unggul”, adalah sekolah sekolah-sekolah yang ingin tampil beda, dengan
kekhasan yang tidak dimiliki sekolah lain. Dalam dunia pendidikan di Indonesia,
mutu dalam pengertian relatif (standar) diterapkan dengan mengacu pada sejumlah
standar yang telah digunakan untuk melakukan pengecekan standar yang berkaitan
dengan kinerja satuan pendidikan dan kelayakan pengelolaan satuan pendidikan,
yang disebut dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Sistem Akreditasi
Sekolah. Standar Nasional Pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003
menegaskan bahwa dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di Indonesia terdapat
sejumlah standar, yang meliputi: standar isi, proses, komptensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan. Salah satu standar penilaian yang diterapkan oleh pemerintah
Indonesia sampai sekarang ini adalah ujian nasional. Ujian nasional sebagai
alat pengukur (penerapan standar) pencapaian standar kompetensi, juga menjadi
standar yang setiap tahunnya mengalami peningkatan agar mencapai mutu yang
lebih tinggi.
Pengertian
mutu berdasarkan kepuasan pelanggan sudah lama disadari dan diterapkan di
berbagai satuan pendidikan di Indonesia, baik negari maupun swasta. Mutu
berdasarkan kepuasan pelanggan menjadi bagian penting dari keberlangsungan
hidup satuan pendidikan, karena masyarakat akan memilih pendidikan yang terbaik
bagi putra-putrinya, sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka. Oleh karena
itu, satuan pendidikan yang tidak memperhatikan kebutuhan pelanggan akan
ditinggal oleh masyarakat sehingga banyak satuan pendidikan negeri harus digabung
(merger) karena kekurangan siswa, bahkan mungkin ditutup.
Pentingnya
pelanggan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia direspon positif
oleh pemerintah dengan dibentuknya Komite Sekolah, yang antara lain menyalurkan
aspirasi masyarakat pengguna jasa pendidikan. Hal ini lebih diperkuat lagi
dengan penerapan MBS sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas, khususnya pasal 51, ayat (1). Dalam penjelasan pasal ini,
yang dimaksud manajemen berbasis sekolah adalah bentuk otonomi manajemen
pendidikan pada satuan pendidikan yang dalam hal ini kepala sekolah dan guru
dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dari
penjelasan pasal 51, ayat (1) tersebut, wawasan mutu dari segi kepuasan konsumen
sudah menyatu dalam penerapan manajemen berbasis sekolah.
Jelasnya,
wawasan mutu yang bersifat menyeluruh, baik dari segi ranah kompetensi yang
harus dicapai maupun ketiga konsep mutu, secara terpadu semuanya dipakai dan
saling mengisi. Hanya, dalam praktek, suatu lembaga sesuai dengan kondisinya
lebih memfokuskan pada wawasan mutu tertentu. Wawasan tentang mutu yang dianut
oleh suatu lembaga pendidikan, pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap
praktik manajemen pada satuan pendidikan yan bersangkutan.
Berdasarkan
uraian tentang konsep mutu di atas, maka ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan oleh satuan pendidikan dalam kerangka peningkatan mutu
pendidikan.Pertama, setiap penyelenggara dan pengelola pendidikan perlu
memahami makna ’mutu pendidikan’. Hal ini sangat penting karena pandangan
terhadap mutu akan berbeda sesuai dengan tujuan dan keinginan. Dengan pemahaman
tentang mutu, penyelenggara dapat secara jelas mengarahkan satuan pendidikan
yang dikelolanya menuju tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu pada kondisi
ini penerapan MBS perlu dilakukan.
Kedua,
konsep mutu dalam pengertian standar dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat
3 aspek penting yaitu input, proses, dan output. Ketiganya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Standar dari ke 3 aspek itu dapat
mengacu kepada sistem standar yang telah ada seperti Standar Pelayanan Minimal,
Sistem Akreditas, atau delapan Standar Nasional Pendidikan yang sampai saat
masih terus dikembangkan. Walaupun penerapan konsep standar ini sulit dalam
dunia pendidikan karena mengacu kepada produk ’pendidikan’ yang derajat
kekonsitenannya tidak sama dengan barang, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana penyelenggara pendidikan berusaha secara terusmenerus dengan pemahaman
konsep mutu itu untuk mengembangkan mutu input, proses dan output sehingga
kualitas pendidikan menjadi lebih baik.
Usaha
penyelenggara pendidikan tersebut disebut sebagai ’tata layanan’ pendidikan
yang akan diterima siswa sebagai pelanggan utama pendidikan. Ketiga aspek
(input, proses dan output) haruslah dipandang sebagai satu kesatuan dalam
kerangka memberikan layanan yang optimal kepada pelanggan (misalnya siswa),
sehingga penyelenggara pendidikan dapat mengantarkan siswa sesuai dengan
kebutuhannya, sesuai dengan standar yang dibuat baik secara lokal, regional,
maupun nasional.
Ketiga,
menurut Sallis (1993), istilah pelanggan mengacu pada konsumen eksternal dan
konsumen internal. Siswa merupakan konsumen primer, karena merekalah yang
memperoleh layanan langsung dari institusi pendidikan. Orang tua dan pemerintah
(di Indonesia termasuk pemerintah propinsi, kabupaten/kota) sebagai konsumen
sekunder, karena mereka yang membiayai individu atau institusi pedidikan yang
bersangkutan, sehingga sangat penting dan menentukan. Pengguna lulusan (dunia
kerja), pemerintah, dan masyarakat luas sebaga konsumen tersier, karena sungguh
pun tidak langsung berhubungan dengan lembaga pendidikan, tetapi pengaruhnya
sangat penting. Konsumen primer, sekunder, dan tersier tersebut merupakan
konsumen eksternal (sering juga disebut external stakeholders).
Di
samping konsumen eksternal, terdapat konsumen internal, yaitu para guru/staf
pengajar dan staf sekolah pada umumnya. Peran mereka dalam mengupayakan layanan
pendidikan yang bermutu sangat penting. Oleh karena itu, balikan dan kerjasama
antara mereka sangat penting dalam pengelolaan mutu pendidikan. Di dalam
praktik sekarang, suara masyarakat sebagai salah satu stake-holder sering
diambil alih oleh DPR/DPRD, karena mereka merasa secara resmi dianggap sebagai
wakil rakyat. Dalam konteks Indonesia saat ini, ada institusi Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah yang perannya lebih fokus pada akuntabilitas pelaksanaan
pendidikan.
Berdasarkan
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa konsep mutu itu bersifat dinamis dan
seharusnya selalu merespon tuntutan pelanggan pendidikan dan stakeholders
lainnya. Oleh karena itu, walaupun bukti empirik belum menunjukkan bahwa MBS
dapat menjamin peningkatan mutu pendidikan, tetapi dalam konteks mutu yang
lebih luas di atas, maka pendekatan pengelolaan MBS pada satuan pendidikan akan
dapat merealisasikan konsep mutu dimaksud.
C. Prinsip-Prinsip
MBS
Bertolak dari pembahasan pada Unit 1
tentang berbagai pengertian MBS, pada dasarnya terdapat empat prinsip MBS yaitu
otonomi sekolah, fleksibilitas, dan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu
sekolah.
Otonomi
dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan
mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan
mandiri dibedakan dari pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan
organisasi pelaksana yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan
pengarahan, petunjuk, dan instruksi dari atas atau dari luar.
Kemandirian
dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah.
Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan
menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah
otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola,
swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus
didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/ menghargai perbedaan pendapat, kemampuan
memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik,
kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun
perlu digarisbawahi bahwa kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak, absolut,
atau semaunya. Kemandirian yang ada tetap harus bertolak pada ketentuan,
peraturan. dan perundangan yang berlaku. Sebagai salah satu contoh peningkatan
mutu pendidikan di sekolah, guru sebagai profesional memiliki keleluasaan untuk
menerapkan kiat-kiat pembelajaran yang efektif untuk mencapai kompetensi yang
telah ditetapkan.
Fleksibilitas
dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk
mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal
mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih
besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya
untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya.
Dengan
prinsip fleksibilitas ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam
menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di
atas, prinsip fleksibilitas yang dimaksud tetap mengacu pada kebijakan,
peraturan dan perundangan yang berlaku. Contoh fleksibilitas yang dapat
dilakukan oleh seorang guru di sekolah adalah guru yang profesional memiliki
kewenangan untuk memilih, menentukan metode, alat dan sumber belajar yang ia
yakini efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran dan ia akan
mempertanggungjawabkannya. Dalam konteks penyusunan program, masingmasing
sekolah dapat menentukan prioritas-prioritas program yang dapat dilakukan
sesuai kondisi masing-masing sekolah yang disesuaikan dengan lingkungan
sekolah.
Dengan
demikian, program dan penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Sekolah (RAPBS) akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya,
bahkan ketika alokasi anggaran yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi
penekanan dan pemilihan prioritas dapat berbeda. Prinsip ini membuka kesempatan
bagi kreativitas sekolah untuk melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini
dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama
proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Peningkatan
partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua
siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk
terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari
pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan
dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika
seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka
yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga
yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai
tujuan sekolah. Singkatnya, makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula
rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab;
dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja
pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan
keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi.
Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
sekolah akan mampu menciptakan: (a) keterbukaan (transparansi); (b) kerja sama
yang kuat; (c) akuntabilitas; dan (d) demokrasi pendidikan.
Pertama,
transparansi (keterbukaan) yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan
keuangan. Kerja sama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriah
kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah. Kedua, kerjasama sekolah yang baik
ditunjukkan oleh hubungan antarwarga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan
masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan
hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Artinya, prestasi yang diraih
ataupun mutu yang dicapai merupakan jerih payah upaya kolektif antara kepala
sekolah, seluruh staf, dan dibantu oleh orang tua dan masyarakat dalam wadah
Komite Sekolah. Oleh karena itu, kepemimpinan yang diterapkan di sekolah adalah
kepemimpinan partisipatif, kolaboratif, dan demokratis. Dengan kepemim-pinan
partisipatif, akan tumbuh komitmen bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan
sebagai realisasi program yang dibuat/disusun dengan melibatkan warga sekolah
dan wakil orang tua dan masyarakat.
Ketiga,
akuntabilitas adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya,
masyarakat, dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan
secara terbuka. Jika mengacu pada pasal 2 Standar Nasional Pendidikan, akuntabilitas
tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Ketercapaian 8 standar nasional
pendidikan di sekolah menunjukkan sejauh mana mutu pendidikan atau kinerja
suatu sekolah. Sebagai contoh, wujud akuntabilitas mengenai pengelolaan dan
penggunaan dana serta pemanfaatan sumber daya lainnya secara efisien dan
efketif dapat dituangkan ke dalam berbagai pelaporan, dokumentasi, dan
sebagainya. Sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah akuntabilitas dalam
ketercapaian standar pendidik dan tenaga kependidikan. Standar ini pada
prinsipnya mengacu pada akuntabilitas profesional-isme tenaga pendidikan dan
tenaga kependidikan. Demikian juga dengan akuntabilitas terhadap komptensi
lulusan, atau mutu atau kinerja yang dicapai sekolah.
Keempat,
demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan
mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia, serta kewajibannya
dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jadi, peningkatan partisipasi warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan
(transparansi), kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan.
Mutu
pendidikan, merupakan sasaran yang ingin dicapai oleh MBS. Ketiga prinsip di
atas yaitu otonomi, fleksibilitas, dan partisipasi merupakan prinsip yang
mendasari pencapaian mutu pendidikan. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan
betapapun kondisi dan konteksnya mempunyai peluang untuk maju dan karenanya
dapat ditingkatkan mutunya. Artinya, pengembangan sekolah atau peningkatan mutu
pendidikan pada level sekolah harus berangkat dari potensi diri satuan
pendidikan dari berbagai aspeknya. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pada
tingkat satuan pendidikan bukanlah suatu pekerjaan mudah dan dapat dicapai
dalam satu kali program. Mutu pendidikan dicapai secara bertahap; direncanakan,
dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh; pada setiap tahapan waktu ada target
dan tujuan spesifik yang jelas, sehingga setiap tahun jelas ada kemajuannya.
Prinsip ini juga mengandung implikasi bahwa satuan pendidikan yang sudah
bermutu pun masih terus-menerus meningkatkan mutunya, karena tuntutan
perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan masyarakat senantiasa berubah,
demikian pula tuntutan stakeholders lainnya.
Kita
menganut definisi mutu yang dinamis, yang mengharuskan satuan pendidikan selalu
merespon tuntutan eksternal dan internal secara layak. Prinsip peningkatan mutu
secara berkelanjutan dan konsep mutu yang dianut membawa konsekuensi tertentu.
Sekolah perlu memiliki visi ke depan, misi yang jelas serta tujuan yang fokus,
serta perencanaan strategis dan jangka pendek pada tiap satuan pendidikan.
Prinsip ini juga menghendaki perubahan cara pandang kita terhadap
sekolah/madrasah dari pandangan sebagai lembaga/organisasi baku yang setiap
komponen atau bagiannya memiliki tugas pokok dan fungsi serta kinerja yang baku
(standar), menjadi cara pandang yang mengakui bahwa sekolah/madrasah sebagai
unit organisasi apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dan
merupakan organisasi pebelajar atau “learning organization”, yang terusmenerus
merevitalisasi dan memperbaiki diri untuk merespon tuntutan perubahan yang
terjadi di sekitarnya.
Dengan
pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar
dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun
rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan
keempat prinsip di atas, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan
proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional)
akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan
peningkatan mutu.
Sekolah
yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri: tingkat kemandirian tinggi atau
tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif
sekaligus, memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil resiko, dan sebagainya), bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah,
memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki
kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya,
serta prestasi menjadi acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, sumber daya
manusia sekolah yang berdaya ditandai dengan: pekerjaan adalah miliknya,
bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, mengetahui posisinya di
mana, memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, serta pekerjaannya merupakan
bagian hidupnya.
Contoh
tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah:
pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna,
pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang
terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan,
didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian
penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah
diberlakukan sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki martabat tertinggi.
Menurut
Nurkholis (2003:52) terdapat empat prinsip untuk mengelola sekolah dengan
menggunakan MBS, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip
sistem pengelolaan mandiri, dan prinsip inisiatif sumber daya manusia.
Menurutnya,
prinisp ekuifinalitas didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi
bahwa terdapat cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS
menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah
menurut kondisi mereka masing-masing. Perbedaan kondisi sekolah dapat dilihat
dari aspek perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah
tidak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi,
apalagi negara. Oleh karena itu permasalahan yang dihadapi sekolah, harus dapat
dipecahkan sekolah dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara
penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
Prinsip
equifinalitas menimbulkan sejumlah konsekuensi. Pertama, guru sebagai salah
satu faktor kunci keberhasilan pembelajaran mempunyai kewenangan untuk memilih,
menentukan metode, alat dan sumber belajar yang ia yakini efektif untuk
mencapai tujuan pembelajaran dan ia akan mempertanggungjawabkannya. Mengapa
demikian? Karena berbagai kebijakan pendidikan nasional yang ada sekarang ini
menuntut kreativitas dan fleksibilitas dalam mendesain pembelajaran, termasuk
materi pembelajaran yang disusun untuk mencapai kompetensi standar yang ditetapkan.
Contoh kebijakan pendidikan nasional adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP).
Kedua,
fleksibilitas dalam pengelolaan sekolah. Setiap sekolah dapat merencanakan
tujuan dan program sekolah sesuai dengan kondisi sekolah masingmasing, baik
dari aspek sumber daya, keuangan, dan kebutuhan baik kebutuhan warga sekolah,
orang tua dan masyarakat, dan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan prinsip ini setiap sekolah akan mempunyai rencana pengembangan
sekolah (RPS) dan rencana anggaran dan pendapatan sekolah (RAPBS) yang
berbeda-beda, kendati alokasi anggaran yang diberikan atau dimiliki sama
nilainya. Prinsip ini membuka kesempatan bagi sekolah untuk kreatif dalam
melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses pembelajaran yang lebih
kontekstual.
Prinsip
desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan
aktivitas pengajaran tak dapat dielakkan dari kesulitan dan permasalahan.
Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan
desentralisasi dalam pelaksanaannya. Prinsip ekuifinalitas mendorong adanya
desentralisasi kekuasaan dengan mempersilakan sekolah memiliki ruang yang lebih
luas untuk bergerak, berkembang, dan bekerja menurut strategi-strategi unik
mereka untuk menjalankan dan mengelola sekolahnya secara efektif.
Oleh
karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan
masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan
kata lain tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan
masalah, bukan menghindari masalah.
Saudara,
atas dasar itu pula, MBS harus mampu menemukan masalah dan memecahkannya tepat
waktu, serta memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas
pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi, kewenangan kepada sekolah itu
sendiri, maka sekolah tidak akan dapat memecahkan masalahnya secara cepat,
tepat dan efisien.
Selanjutnya,
pada prinsip pengelolaan mandiri, MBS memberikan kewenangan kepada sekolah
menjadi sistem pengelolaan secara mandiri, di bawah kebijakannya sendiri.
Dengan prinisp ekuifinalitas dan desentralisasi di atas, sekolah memiliki
otonomi tertentu untuk mengembangkan tujuan pembelajaran, strategi manajemen,
distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan
mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-masing . Dengan prinsip
pengelolaan secara mandiri maka sekolah lebih memiliki inisiatif dan tanggung
jawab.
Terakhir,
pada prinsip inisiatif manusia mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang
statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi suber daya manusis harus
selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Dengan demikian, lembaga
pendidikan harus menggunakan pendekatan pengembangan sumber daya manusia (human
resources development) yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta
memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki
potensi untuk terus dikembangkan. Prinsip tersebut menunjukkan pentingnya
faktor manusia pada efektivitas orgnanisasi. Perspektif sumber daya manusia
menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga
butir utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah
untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini, maka MBS bertujuan membangun
lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan
mengembangkan potensinya.
D. Karakteristik
MBS
Menurut
Nurkholis (2003:56), MBS memiliki 8 karakteristik. Pertama, sekolah dengan MBS
memiliki misi atau cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok
harapan bersama, keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing warga sekolah di
dalam aktivitas pendidikan dan memberi arah kerja. Misi ini mempunyai pengaruh
yang besar terhadap fungsi dan efektivitas sekolah, karena dengan misi ini
warga sekolah dapat mengembangkan budaya organisasi sekolah yang tepat,
membangun komitmen yang tinggi terhadap sekolah, dan mempunyai insiatif untuk memberikan
tingkat layanan pendidikan yang lebih baik
Kedua,
aktivitas pendidikan dijalankan berdasarkan karakteristik kebutuhan dan situasi
sekolah. Hakikat aktivitas sangat penting bagi sekolah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, karena secara tidak langsung memperkenalkan perubahan
manajemen sekolah dari menajemen kontrol eksternal menjadi model berbasis
sekolah. Ketiga, terjadinya proses perubahan strategi manajemen yang menyangkut
hakikat manusia, organisasi sekolah, gaya pengambilan keputusan, gaya
kepemimpinan, penggunaan kekuasaan, dan keterampilan-keterampilan manajemen.
Oleh karena itu dalam konteks pelaksanaan MBS, perubahan strategi manajemen
lebih memandang pada apek pengembangan yang tepat dan relevan dengan kebutuhan
sekolah.
Keempat,
keleluasaan dan keweangan dalam pengelolaan sumber daya yang efektif untuk
mencapai tujuan pendidikan, guna memecahkan masalah-masalah pendidikan yang
dihadapi, baik tenaga kependidikan, keuangan dan sebagainya. Kelima, MBS
menuntut peran aktif sekolah, adiministrator sekolah, guru, orang tua, dan
pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan di sekolah. Dengan MBS sekolah dapat
mengembangkan siswa dan guru sesuai dengan karakteristik sekolah masingmasing.
Dalam konteks ini, sekolah berperan mengembangkan insiatif, memecahkan masalah,
dan mengeksplorasi semua kemungkinan untuk menfasilitasi efektivitas
pembelajaran. Demikian halnya dengan unsur-unsur lain seperti guru, orang tua,
komite sekolah, administrator sekolah, dinas pendidikan, dan sebagainya sesuai
dengan perannya masing-masing. Keenam, MBS menekankan hubungan antarmanusia
yang cenderung terbuka, bekerja sama, semangat tim, dan komitmen yang saling
menguntungkan. Oleh karena itu, iklmi orgnanisasi cenderung mengarah ke tipe
komitmen sehingga efektivitas sekolah dapat tercapai.
Ketujuh,
peran administrator sangat penting dalam kerangka MBS, termasuk di dalamnya
kualitas yang dimiliki administrator. Kedelapan, dalam MBS, efektivitas sekolah
dinilai menurut indikator multitingkat dan multisegi. Penilaian tentang
efektivitas sekolah harus mencakup proses pembelajaran dan metode untuk
membantu kemajuan sekolah. Oleh karena itu, penilaian efektivitas sekolah hatus
memperhatikan multitingkat, yaitu pada tingkat sekolah, kelompok, dan individu,
serta indikator multisegi yaitu input, proses dan output sekolah serta
perkembangan akademik siswa.
Sedangkan
menurut MPMBS, karakteristik MPMBS dikategorikan menjadi input, proses, dan
output (Depdiknas, 2002). Selanjutnya, uraian singkat berikut dimulai dari
output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan
tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah
dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah
dari output.
1.
Output yang diharapkan
Sekolah
harus memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah
yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen sekolah. Pada umumnya,
output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi
akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik
(non-academic achievement). Output prestasi akademik misalnya, NEM, lomba karya
ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir
(kritis, kreatif/ divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah).
Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran,
kerja sama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama,
solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah
raga, kesenian, dan kepramukaan.
2.
Proses
Sekolah
yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai
berikut:
a.
Proses belajar mengajar yang
efektivitasnya tinggi
b.
Kepemimpinan sekolah yang kuat
c.
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
d.
Pengelolaan tenaga kependidikan yang
efektif
e.
Sekolah memiliki budaya mutu
f.
Sekolah memiliki “teamwork” yang kompak,
cerdas, dan dinamis
g.
Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
h.
Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah
dan masyarakat
i.
Sekolah memiliki keterbukaan
(transparansi) manajemen
j.
Sekolah memiliki kemauan untuk berubah
(psikologis dan pisik)
k.
Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan
secara berkelanjutan
l.
Sekolah responsif dan antisipatif terhadap
kebutuhan
m.
Memiliki komunikasi yang baik
n.
Sekolah memiliki akuntabilitas
o.
Sekolah memiliki kemampuan menjaga
sustainabilitas atau keberlanjutan.
3.
Input pendidikan
Beberapa
karakteristik MBS daitinjau dari aspek input pendidikan adalah:
a.
Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran
mutu yang jelas;
b.
Sumber daya tersedia dan siap;
c.
Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi;
d.
Memiliki harapan prestasi yang tinggi;
e.
Fokus pada pelanggan (khususnya siswa);
f.
Input manajemen.
2. Fungsi-Fungsi Manajemen Berbasis
Sekolah
a. Fungsi
manajemen berbasis sekolah
Wohlstetter dan Mohrman, dkk. (1997)
mengemukakan, ada empat hal penting yang didesentralisasikan atau kewenangannya
diberikan kepada sekolah. Pertama, kekuasaan (power) untuk mengambil keputusan.
Kedua, pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk mengambil keputusan yang
baik dan pengelolaan secara profesional. Ketiga, informasi yang diperlukan oleh
sekolah untuk mengambil keputusan. Semula informasi harus dikirim ke pusat
untuk pengambilan keputusan di tingkat pusat. Sekarang sekolah mengumpulkan
informasi terutama untuk dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan sekolah yang
bersangkutan. Keempat, penghargaan atas prestasi, yang harus ditangani oleh
masing-masing sekolah.
Mereka juga menambahkan tiga elemen
yang dianggap prasyarat yang bersifat organisasional, yaitu: (1) panduan
instruksional (pembelajaran), seperti rumusan visi dan misi sekolah, panduan
dari distrik yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran; (2)
kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya
perbaikan/perubahan; (3) sumber daya yang mendukung pelaksanaan perubahan.
Secara eksplisit, MPMBS (2004)
menyatakan bahwa fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat digarap oleh
sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1) proses belajar mengajar, (2)
perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4)
pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6)
pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolahmasyarakat, dan
(9) pengelolaan iklim sekolah. Fungsi-fungsi yang didesentralisasikan itu dapat
digambarkan sebagai berikut.
Berdasarkan uraian di atas, nyatalah
bahwa pemberian kewenangan pengelolaan (manajemen) pendidikan di tingkat
sekolah dapat dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, dari aspek fungsinya, yang
mencakup: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan (planning,
organizing, actuating, controlling), dan kepemimpinan (leading). Fungsi-fungsi
ini dilaksanakan oleh sekolah, baik oleh kepala sekolah, guru, dan atau komite
sekolah. Kedua, bidang teknis yang dikelola oleh sekolah dengan fungsi-fungsi
tersebut, yaitu: (a) perencanaan dan evaluasi, (b) pengembangan kurikulum, (c)
proses pembelajaran, (d) personil (ketenagaan), (e) keuangan, (f) fasilitas
sekolah (sarana-prasarana), (g) pelayanan siswa, (h) hubungan sekolah –
masyarakat, serta (i) iklim sekolah.
b. Desentralisasi
Fungsi-Fungsi Manajemen
Memperhatikan
kedua kategori di atas, Anda perlu memperhatikan kembali dasar hukum
pelaksanaan MBS di Indonesia yaitu UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005,
dan peraturan-peraturan lainnya. Pertanyaannya adalah sejauh mana kewengan
sekolah dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen yang didesentralisasikan di
sekolah tersebut? Simaklah sajian berikut tentang fungsifungsi manajemen
tersebut.
1.
Perencanaan dan evaluasi
Sekolah
diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya.
Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah.
Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu, yang hasilnya
akan digunakan sebagai dasar dalam membuat rencana peningkatan mutu sekolah.
Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang
dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk
memantau proses pelaksanaan dan hasil program-program yang telah dilaksanakan.
Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur
dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
2.
Pengembangan Kurikulum
Pada
saat ini, pengembangan kurikulum sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing
satuan pendidikan, dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan, standar isi,
kerangka dan struktur kurikulum, serta panduan penyusunan kurikulum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kebijakan tersebut memungkinkan setiap satuan
pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya. Sekolah berkewenangn mengembangkan (memperdalam, memperkaya,
memodifikasi) kurikulum, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang
berlaku secara nasional. Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa
yang diajarkan boleh dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga
dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh
diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian
juga, sekolah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan
boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik
peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan
kurikulum muatan lokal.
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan hal-hal yang terkait dengan
kurikulum. Pasal 35 ayat (1) menjelaskan standar nasional pendidikan terdiri
atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala, dan ayat (2) menyatakan bahwa
standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Menurut
Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006, tentang standar isi Bab II (2)
dinyatakan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) jenjang pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada
standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum
yang dibuat oleh BSNP.
Dari
pasal-pasal tentang kurikulum tersebut, dapatlah ditegaskan sebagai berikut.
Pertama, kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah
disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah untuk menjaga standar nasional dalam hal
isi, proses, dan kompetensi lulusan. Dalam hubungan ini, kurikulum baru yang
sedang diperkenalkan memuat standar kompetensi, standar isi, dan standar
proses. Oleh karena menekankan pada berbagai kompetensi yang harus dicapai oleh
peserta didik, kurikulum baru ini dikenal dengan nama Kurikulum Tinggat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Kedua,
dalam kerangka MBS, kewenangan yang diberikan kepada satuan pendidikan bersama
komite untuk mengembangkan kurikulum dalam bentuk pengembangan dan penjabaran
dari apa yang sudah ditetapkan secara nasiona, di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi sekolah. Pengembangan kurikulum tersebut dapat dilakukan baik
secara sendiri-sendiri oleh satuan pendidikan atau dilakukan secara
bersama-sama oleh beberapa sekolah bersama komitenya (bisa dalam satu gugus
atau tingkat kecamatan bahkan bisa dalam tingkat kabupaten), dengan koordinasi
dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota.
Ketiga, guru mempunyai kewenangan untuk mengembangkan proses pembelajaran, sesuai
metode yang dia kuasai dan dia pilih, serta alat bantu dan sumber belajar yang
dia anggap efektif untuk mendukung proses pembelajaran.
Jadi,
kewenangan sekolah dalam hal pengembangan kurikulum adalah pengembangan
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mendasarkan pada standar isi, standar
kompetensi dan standar kelulusan, serta memilih, menjabarkan dan mengembangkan
materi pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi yang diinginkan, termasuk
di dalamnya adalah pemilihan metode pembelajaran, program pengayaan, program
perbaikan (remedial), dan pelaksanaan proses pembelajarannya, dengan dukungan
input lainnya, serta evaluasi oleh sekolah.
3.
Pengelolaan Proses Pembelajaran
Proses
belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih
strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling
efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa,
karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat
pada siswa (student centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.
Yang dimaksud dengan pembelajaran berpusat pada siswa adalah pembelajaran yang
menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru.
Oleh karena itu, cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active
learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan.
Anda
semua pasti mengetahui, bahwa proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama
sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik
pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik
mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata
sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum, stragtegi/metode/teknik
pembelajaran yang berpusat pada siswa (studentcentered) lebih mampu
memberda-yakan siswa karena membuat mereka menjadi lebih aktif dalam proses
pembelajaran. (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2005). Oleh karena
itu, cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active learning,
cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan.
Desentralisasi
pengelolaan melalui MBS memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan
proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Di samping itu
dengan KTSP, sekolah atau guru dapat mengembangkan secara mandiri materi ajar
dan kegiatan belajar yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang telah ditetapkan, serta meningkatkan mutu sekolah sesuai
dengan karakteristik sekolah masingmasing.
Untuk
dapat mewujudkan hal itu, sekolah harus memiliki persiapan yang matang dengan
memberdayakan seluruh potensi dan unsur sekolah seperti guru dan masyarakat
yang diwakili orang tua siswa, untuk menyusun dan merancang proses
pembelajaran. Melalui proses pembelajaran yang disusun berdasarkan kebutuhan
sekolah, kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum
atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta
didik. Dengan demikian, pembelajaran pun dapat lebih efektif untuk dapat
menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi.
Proses
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan merupakan bentuk pembelajaran yang
menghadapkan siswa pada suatu atau sejumlah sumber belajar secara individual
atau kelompok. Proses pembelajaran yang efektif adalah suatu kondisi yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan berbeda pendapat dengan
guru, sehingga terjadi dialog interaktif (Fattah, 2004). Dengan pembelajaran
yang seperti ini, yang menjadi sumber belajar tidak hanya guru, tetapi juga
siswa.
Slamet
PH (2001) menyatakan bahwa proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan
pelajar yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku
pelajar, baik di dalam maupun di luar ruang kelas. Karena proses belajar
mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka penekanannya bukan sekedar
penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan
internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi
sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktikkan oleh pelajar (etos).
Selain
itu, proses pembelajaran semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban
daripada sekedar memiliki jawaban. Karena itu, proses pembelajaran yang lebih
mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang
efektif. Perlu sarudara ketahui, bahwa proses pembelajaran yang efektif
semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi
untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru),
memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan
demokrasi, dan memberikan toleransi pada kekeliruankekeliruan akibat
kreativitas berfikir.
4.
Pengelolaan ketenagaan
Saudara,
kita perhatikan fungsi-fungsi ketenagaan (personnel function) berkaitan dengan:
perencanaan kebutuhan, seleksi, pengangkatan, penempatan, pengembangan, dan
pemberhentian, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga
administrasi, laboran dan sebagainya). Bagi sekolah negeri, fungsi mana yang
menjadi kewenangan sekolah? Selama ini peran sekolah hanya sebatas mengusulkan
kebutuhan tenaga (guru dan non guru), memproses/mengusulkan angka kredit, dan
mengusulkan pensiun.
Dalam
rangka MBS peran kewenangan atau peran sekolah masih akan sangat terbatas pada
mengelola ketenagaan yang sudah ada di sekolah, dan sebatas mengelola
pemanfaatan tenaga yang sudah diangkat oleh pemerintah/pemerintah daerah,
kecuali untuk tenaga honorer yang insentifnya sebagian besar dapat dibayarkan
melalui dana BOS dan/atau melalui sumbangan orang tua (Komite Sekolah).
Penjelasan
yang lebih terperinci tentang manajemen ketenagaan ini dituangkan juga di dalam
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal-pasal di dalam UU
tersebut secara jelas diungkapkan bagaimana profesionalisme guru untuk
mendukung proses pembelajaran di sekolah, serta kewenangan pengelolaan
ketenagaan.
Terbatasnya
kewenangan sekolah, khususnya sekolah negeri dalam pengelolaan bidang
ketenagaan tentu tidak membuat MBS kehilangan makna dalam hal ini. Dalam
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia sebagai bagian dari sumber daya
pendidikan kunci yang sangat penting, satuan pendidikan (dengan kepemimpinan
yang kuat) harus dapat memotivasi, menggalang kerja sama, menyamakan visi,
menyadari misi, serta mengembangkan staf pada level sekolah/madrasah yang belum
ditangani oleh birokrasi di atasnya. Satuan pendidikan juga melakukan
penggalian sumber daya manusia dari luar (out sourcing) melalui kerja sama
dengan berbagai pihak, karena keterbatasan tenaga, belum tercukupinya tenaga
yang diperlukan, atau memang tenaga tersebut tidak mungkin diangkat oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah karena sifat keahliannya yang khas, yang tidak
diperlukan secara terus-menerus sepanjang tahun ajaran. Sebagai contoh,
misalnya pengangkatan guru honorer atau kontrak di sekolah seperti guru
komputer, bahasa Inggris, dan sebagainya.
5.
Pengelolaan Fasilitas Sekolah
Pengelolaan
fasilitas sekolah (sarana dan prasarana) sudah seharusnya dilakukan oleh
sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai
pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling
mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun
kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung
dengan proses belajar mengajar.
Kebijakan
pemerintah tentang pengelolaan sarana dan prasarana sekolah tertuang di dalam
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 45 ayat (1), yaitu “Setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.
Lebih
spesifik Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan pada Bab VII pasal (42) sampai dengan pasal (47) menegaskan bahwa di
bidang sarana dan prasarana pun kewenangan sekolah ada batasanbatasannya. Namun
batasan-batasan yang dimaksudakan di dalam standar nasional pendidikan tersebut
didasarkan pada kriteria minimal yang harus dimiliki oleh sekolah dalam aspek
sarana dan prasarana. Sehingga penjaminan terselenggaranya pendidikan yang
bermutu dapat tercapai.
Yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana penyediaan fasilitas sekolah (sarana dan
prasarana) dapat dilakukan, khususnya dari aspek pendanaan.
6.
Pengelolaan Keuangan
Bidang
keuangan bagi pendanaan pendidikan di sekolah merupakan salah satu elemen MBS
yang sangat penting. Dari kajian pengalaman di negara-negara lain kita temukan
istilah “school-based budget”, “resource allocation”, dan “schoolfunding
formula”, yang semua merujuk keuangan sekolah sebagai elemen penting di dalam
pelaksanaan MBS
Nampaknya
ketentuan tersebut melegakan berbagai pihak terutama kalangan pendidikan dan
orang tua yang bakal lebih ringan bebannya dalam mngeluarkan biaya pendidikan
yang saat ini dirasakan makin menghimpit. Tetapi jangan terlalu girang lebih
dahulu, sebab penjelasan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas Tahun 2003 tersebut
berbunyi: “Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap”.
Penjelasan ini dapat menjadi apa yang biasa disebut “pasal karet”, yang
pelaksanaannya sangat tergantung dari keinginan yang baik (goodwill) berbagai
pihak, khususnya pemerintah dan DPR
Sementara
pasal 49 ayat (3) UU Sisdiknas 2003 menyatakan dana pendidikan dari Pemerintah
dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal dan ayat ini
sesuai dengan semangat elemen pokok MBS yang menghendaki adanya alokasi dana
pendidikan untuk sekolah dalam bentuk “block grant” (hibah).
Oleh
karena ada tuntutan prinsip pendanaan yang adil, kecukupan, berkelanjutan, dan
prinsip pengelolaan yang juga adil, efisien, transparan, dan akuntabel (seperti
diatur dalam pasal 47 ayat (1) dan pasal 48 ayat (1) UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003), perlu ada formula pendanaan pendidikan untuk tiap sekolah (school
funding formula). Tentu saja hal ini masih perlu waktu, tetapi harus segera
dirumuskan dan ditetapkan kalau MBS akan diterapkan secara sungguh-sungguh.
Prinsip ini juga berlaku untuk semua satuan pendidikan, termasuk pendanaan
untuk satuan pendidikan swasta baik sekolah maupun madrasah.
Jelasnya,
secara yuridis (menurut UU Sisdiknas tahun 2003) kewenangan sekolah di dalam
bidang pengelolaan keuangan sudah sesuai dengan konsep MBS, terutama untuk
sekolah negeri. Dari segi pelaksanaan, hibah yang diberikan selama ini sudah
mulai terlihat polanya yaitu melalui BOS, dan dana-dana lain yang disediakan
oleh propinsi maupun pemerintah pusat.
Salah
satu jabaran kebijakan pemerintah berkenaan dengan dana pendidikan
direalisasikan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarannya
tergantung dari jumlah siswa. Walaupun kebijakan BOS ini menguntungkan bagi
sekolah dalam mengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan, namun bagi
sekolah yang jumlah siswanya sedikit, kebijakan ini dirasakan masih kurang
adil, karena kebutuhan biaya operasional sekolah tidak mencukupi. Namun
demikian dengan pendanaan pendidikan seperti BOS ini, dalam kerangka MBS,
penyelenggara pendidikan diberikan kewenangan untuk mengelola dana tersebut
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, yang muaranya adalah peningkatan
mutu pendidikan. Di samping itu, dengan MBS penyelenggara pendidikan dapat
melakukan inovasi pengalokasian sumber dana pendidikan, yang tidak hanya
tergantung pada hibah dari pemerintah, tetapi bersama-sama dengan komite
sekolah dapat menghimpun pendanaan dari masyarakat, dunia usaha, dan dunia
industri (DUDI).
7.
Pelayanan Siswa
Pelayanan
siswa meliputi penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan,
penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga
sampai pada pengurusan alumni. Hal itu sebenarnya dari dahulu sudah
didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan saat ini adalah peningkatan
intensitas dan ekstensitasnya. Seperti yang dikemukakan oleh Sutisna (1991:46),
tugas kepala sekolah dalam manajemen siswa adalah menyeleksi siswa baru,
menyelenggarakan pembelajaran, mengontrol kehadiran murid, melakukan uji
kompetensi akademik/ kejuruan, melaksanakan bimbingan karier serta penelusuran
lulusan. Uji kompetensi yang dilakukan bersama oleh sekolah dan asosiasi profesi
memudahkan penyaluran dan pemasaran lulusan sekolah ke dunia kerja, ataupun
menciptakan lapangan kerja sendiri untuk berwiraswasta. Kepala sekolah harus
menyadari bahwa kepuasan peserta didik dan orang tuanya serta masyarakat,
merupakan indikator keberhasilan sekolah (Sallis, 1993). Mereka adalah external
customers. Keberhasilan ini adalah konsep dasar yang harus menjadi acuan kepala
sekolah dalam mengukur keberhasilan sekolahnya.
8.
Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Esensi
hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian,
kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan
finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolahmasyarakat dari dahulu
sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah
peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolahmasyarakat.
Kinkred
Leslie (1957) mengemukakan pengertian hubungan sekolah dan masyarakat sebagai
berikut: “School public relation is a process of communication between the
school and community for purpose of increasing citizens understanding of
educational needs and practices and encouraging intelligent citizens interest
and cooperation in the work of improving the school.”
Adanya
hubungan sekolah dan masyarakat sesungguhnya telah membuat sekolah sebagai
sebuah institusi dapat mengetahui sumber-sumber yang ada di masyarakat untuk
kemudian didayagunakan bagi kepentingan dan kemajuan pendidikan anak di
sekolah. Di pihak lain, masyarakat dapat mengambil manfaat dengan turut mengenyam
dan menyerap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh sekolah.
Mereka dapat mengakses perpustakaan dan memanfaatkan segala bentuk informasi
yang ada di dalamnya. Sebenarnya, masyarakat dapat mengerti dan memahami
tujuan-tujuan pendidikan, termasuk di dalamnya kebutuhan-kebutuhan pendidikan,
pelaksanaan pendidikan dan kemajuan pendidikan yang berlangsung di sekolah
tersebut. Berangkat dari pemahaman tersebut, masyarakat dapat memberikan
bantuan kepada sekolah demi kemajuan pendidikan anak-anak mereka.
Elsbree
(1965) mengemukakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat memiliki tujuan
sebagai berikut. 1. Meningkatkan kualitas belajar dan pertumbuhan anak. 2.
Meningkatkan tujuan masyarakat dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
3. Mengembangkan antusiasme dalam membantu kegiatan hubungan sekolah dengan
masyarakat di sekitar sekolah.
Perlu
Anda ketahui, bahwa ketiga tujuan yang ditawarkan Elsbree di atas menggambarkan
adanya dua arus komunikasi yang saling timbal balik (a-two waytraffic) antara
sekolah dan masyarakat. Hubungan keduanya akan berjalan dengan baik apabila
terjadi kesepakatan tentang arah kebijakan (policy), perencanaan (planning),
program, dan strategi pelaksanaan pendidikan di sekolah. Namun begitu, karena
di masyarakat sendiri terdapat berbagai perbedaan pemikiran dan kepentingan,
maka kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah harus cerdas dalam
menyusun program yang dapat menampung berbagai arus aspirasi yang berkembang di
masyarakat. Salah satu jalan yang dapat ditempuhnya dengan cara membentuk
“opini publik”, dan menjadikan-nya sebagai titik tolak pelaksaaan pendidikan di
sekolah tersebut. Opini publik adalah suatu pendapat dari hasil penyatuan
berbagai variasi pendapat di dalam lingkungan masyarakat, sehingga akan
terbentuk suatu pengertian yang utuh.
Singkatnya,
lingkungan dan masyarakat sekitar sekolah adalah ekosistem pendidikan yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Esensi hubungan sekolahmasyarakat adalah
untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan
moral-finansial dari masyarakat. Betapapun hubungan tersebut sudah
terdesentralisasikan sejak dahulu, namun peningkatan intensitas dan ekstensitas
hubungan sekolah-masyarakat perlu mendapat perhatian yang lebih dari
sebelumnya. Karena sesungguhnya, tujuan pendidikan kecakapan hidup akan
berorientasi pada kebutuhan lingkungan Demikian juga halnya dengan pembelajaran
berbasis kompetensi haruslah berwawasan lingkungan (contextual learning).
Mayarakat lingkungan juga merupakan sumber daya pendidikan, baik dalam arti
sumber dana, sumber tenaga kependidikan, laboratorium pendidikan, maupun sebagai
penasehat pendidikan (advisory council). Di sisi lain, masyarakat sebagai
pelanggan luar perlu diupayakan agar mereka merasa puas dengan proses dan hasil
pendidikan yang dihasilkan oleh sekolah.
9.
Iklim Sekolah
Iklim
sekolah (fisik dan nonfisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang
aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah,
kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered
activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat
belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang
diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif (Depdiknas,
2002).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pola manajemen pendidikan sekarang ini telah bergeser
dari pola manajemen lama menuju pola manajemen baru dalam kerangka meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia. Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih
pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan
melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang
pada pola baru, lebih menekankan kepada kemandirian sekolah dalam mengelola
sistem pendidikan di sekolah berdasarkan pada resources yang dimiliki, baik
sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan dan sebagainya. Pola baru
manajemen pendidikan dalam pelaksanaannya lebih dikenal dengan sebutan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Penerapan MBS di sekolah diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, walaupun secara empirik belum ada
bukti bahwa MBS menjamin peningkatan mutu pendidikan, tetapi dengan mengacu
kepada tiga konsep mutu oleh Sallis (1993), sekolah dapat mengelola pendidikan
untuk meningkatkan layanan pendidikan sehingga memenuhi standar yang
diinginkan/ditetapkan.
Manajemen Berbasis Sekolah bukanlah semata-mata masalah
teknis edukatif. Tetapi justru lebih cenderung pada pembagian kewenangan atau
kekuasaan (power sharing) di dalam pengelolaan pendidikan. Seperti lazimnya
proses “power sharing”, selalu terjadi tarik-menarik kepentingan antarberbagai
pihak (stakeholders) sampai terjadi keseimbangan yang memuaskan pihak-pihak
yang bersangkutan. Oleh karena itu, dengan MBS akan terlihat pada fungsi-fungsi
manajemen mana yang didesentralisasikan ke sekolah, sehingga dapat terlihat
secara jelas benang merah kewenangan kekuasaan dan kewenangan (power and
authority) antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, sekolah, orang
tua, dan masyarakat, dalam mengelola pendidikan. Keseimbangan yang terjadi
bersifat dinamis dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan naik turunnya
kekuatan peran masing-masing stakeholder.
B. Saran
Manajemen
sekolah sangat berpengaruh terhadap keefektifan kurikulum karena dengan
pengelolaan yang baik akan menghasilkan
hasil yang baik pula misalnya mutu pendidikan akan lebih meningkat.
No comments:
Post a Comment