Makalah Teori Belajar Matematika Menurut Para Ahli


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai pengetahuan, matematika mempunyai ciri-ciri khusus antara lain
abstrak, deduktif, konsisten, hierarkis, dan logis. Soedjadi (1999) menyatakan
bahwa keabstrakan matematika karena objek dasarnya abstrak, yaitu fakta,
konsep, operasi dan prinsip. Ciri keabstrakan matematika beserta ciri lainnya
yang tidak sederhana, menyebabkan matematika tidak mudah untuk
dipelajari, dan pada akhirnya banyak siswa yang kurang tertarik terhadap
matematika (masih lebih untuk daripada membenci atau "alergi" terhadap
matematika). Ini berarti perlu ada "jembatan" yang dapat menghubungkan
keilmuan matematika tetap terjaga dan matematika dapat lebih mudah
dipahami.
Persoalan mencari jembatan merupakan tantangan, yaitu tantangan
pendidikan matematika untuk mencari dan memilih model matematika yang
menarik, mudah dipahami siswa, menggugah semangat, menantang terlibat,
dan pada akhirnya menjadikan siswa cerdas matematika. Pencarian dan
pemilihan model pembelajaran matematika perlu berorientasi pada
perkembangan mutakhir di dunia, dengan terus berusaha memperpendek
kesenjangan antara kemajuan di dunia dan keadaan nyata di Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan pembelajaran matematika di dunia tidak bisa
diabaikan karena dapat menyebabkan kita semakin sulit mengejar kemajuan
negara lain.
Model pembelajaran matematika yang berkembang didasarkan pada
teori-teori belajar. Hakikat dari teori-teori belajar yang sesuai dengan
pembelajaran matematika perlu dipahami sungguh-sungguh sehingga tidak
keliru dalam menerapkannya. Teori-teori belajar itu menjadi tidak berguna
jika makna dari konsep-konsep yang dikembangkan tidak dipahami dengan
baik. Jika suatu teori belajar ternyata efektif untuk membantu menolong guru
menjadi lebih profesional, yaitu meningkatkan kesadaran guru bahwa mereka
wajib menolong siswa mengintegrasikan konsep baru dengan konsep yang
sudah ada maka teori itu berharga dan patut dipertimbangkan
.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana menerapkan teori belajar matematika menurut beberapa ahli
C.    Tujuan
1.      Agar siswa mengetahui pelaksanaan pembelajaran matematika menurut beberapa ahli




BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Thorndike

Edwar L. Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan bahwa belajar adalah potensi interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan (tindakan). Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan atau tingkah laku akibat kegiatan belajar itu dapat berwujud konkret yang dapat diamati.
Penerapan Teori Belajar Thorndike
  1. Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
  2. Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu. Hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
  3. Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika dengan cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampu menyerap materi yang diberikan.
  4. Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama.
  5. Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses harus bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
  6. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
  7. Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah
  8. Cara mengajar yang baik bukanlah  hanya mengharapkan murid tahu apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah.
  9. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam – macam situasi

B. Teori Belajar Ausubel

Ausubel terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Ausubel (Isjoni, 2011:35) mengemukakan “Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” (meaning full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang”. David P. Ausubel (Ruseffendi, E.T., 2006:172) membedakan dua jenis belajar yaitu belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima bentuk akhir dari yang diajarkan itu diberikan, sedangkan pada belajar menemukan bentuk akhir harus dicari peserta didik. Selain itu Ausubel juga membedakan antara belajar menghafal dengan bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya tetapi pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.
Penerapan Teori Belajar Ausubel
Belajar Bermakna David P. Ausubel 
Teori belajar Ausubel menitikberatkan  pada bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat  dua jenis belajar yaitu belajar hafalan (rote-learning) dan belajar bermakna (meaningful-learning).
a)      Belajar Hapalan
Materi dalam pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun merupakan satu kesatuan, sehingga pengetahuan yang satu dapat berkait dengan pengetahuan yang lain. Seorang anak tidak akan mengerti penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang tunggal seperti  banyaknya kepala, mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2” menunjuk pada  banyaknya sesuatu yang berpasangan seperti banyaknya mata, telinga, kaki, … dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil salah menghitung sesuatu. Tangannya masih  ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “lima” atau malah “enam”. Kesalahan kecil seperti  ini akan berakibat pada kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari satu sampai sepuluh.


b)      Belajar Bermakna
Agar proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan kedua (yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu tentang 17-08-1945 akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi 5491-80-71.Untuk bilangan pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan bermakna jika bilangan itu dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran kita. Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon atau nomor lain yang dapat kita kaitkan. Tugas guru adalah  membantu memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama tersebut dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa tidak dapat mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar yang tidak bermakna (rote learning).
            Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel.  Di samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek, mengingatkan kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum ia memulai membahas topik baru, sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar bermakna tersebut. 

C. Teori Belajar Piaget

            Jean Piaget adalah salah seorang psikolog terkenal yang banyak mempengaruhi perkembangan dunia pendidikan. Selama penelitian Piaget semakin yakin akan adanya perbedaan antara proses pemikiran anak dan orang dewasa. Ia yakin bahwa anak bukan merupakan suatu tiruan dari orang dewasa. Anak bukan hanya berpikir kurang efisien dari orang dewasa, melainkan berpikir secara berbeda dengan orang dewasa. Itulah sebabnya mengapa Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif yang berbeda dari anak sampai menjadi dewasa.
Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget (Paul. S, 2001:24) dibagi menjadi 4 tahap antara lain:
1.      Tahap sensorimotor (umur 0 – 2 tahun)
Pada tahap sensorimotor, anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik yaitu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan. Karakteristik tahap ini merupakan gerakan – gerakan akibat suatu reaksi langsung dari rangsangan. Anak mengatur alamnya dengan indera(sensori) dan tindakan-tindakannya(motor), anak belum mempunyai kesadaran – kesadaran adanya konsepsi yang tetap. Contohnya: Diatas ranjang seorang bayi diletakkan mainan yang akan berbunyi bila talinya dipegang. Suatu saat, ia main-main dan menarik tali itu. Ia mendengar bunyi yang bagus dan ia senang. Maka ia akan mencoba menarik-narik tali itu agar muncul bunyi menarik yang sama.
2.      Tahap persiapan operasional (2 – 7 tahun)
Operasi adalah suatu proses berpikir logis, dan merupakan aktifitas mental bukan aktifitas sensorimotor. Pada tahap ini anak belum mampu melaksanakan operasi – operasi mental. Unsur yang menonjol dalam tahap ini adalah mulai digunakannya bahasa simbolis, yang berupa gambaran dan bahasa ucapan. Dengan menggunakan bahasa, inteligensi anak semakin maju dan memacu perkembangan pemikiran anak karena ia sudah dapat menggambarkan sesuatu dengan bentuk yang lain. Contohnya: anak bermain pasar-pasaran dengan uang dari daun. Kemudian dalam penggunaan bahasa , anak menirukan apa saja yang baru ia dengar. Ia menirukan orang lain tanpa sadar. Hal ini dibuat untuk kesenangannya sendiri. Tampaknya ada unsur latihan disini, yaitu suatu pengulangan untuk semakin memperlancar kemampuan berbicara meskipun tanpa disadari.
3.  Tahap operasi konkret (7 – 11 tahun)
Tahap operasi konkret dinyatakan dengan perkembangan system pemikiran yang didasarkan pada peristiwa – peristiwa yang langsung dialami. Anak masih menerapkan logika berpikir pada barang – barang yang konkret, belum bersifat abstrak maupun hipotesis. Misalnya suatu gelas diisi air. Selanjutnya dimasukkan uang logam sehingga permukaan air naik. Anak pada tahap operasi konkreat dapat mengetahui bahwa volume air tetap sama. Pada tahap sebelumnya, anak masih mengira bahwa volume air setelah dimasukkan logam menjadi bertambah.
4.      Tahap operasi formal (11 tahun keatas)
Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Pada tahap ini anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung.
Penerapan Teori Belajar Piaget.
Tahap-tahap pemikiran Piaget sudah cukup lama mempengaruhi bagaimana para pendidik menyusun kurikulum, memilih metode pengajaran dan juga memilih bahan ajar terutama di sekolah sekolah. Maka dari karya besar Piaget tersebut dapat diimplementasikan pada proses pembelajaran disekolah sesuai dengan teori perkembangannya itu sendiri. Implementasi pada pembelajaran matematika yang akan diterakan berikut hanya merupakan bentuk sebagian saja sebagai contoh yang cocok untuk pengetahuan dan pengembangan terhadap materi pembelajaran itu sendiri. Tentu yang terpenting adalah kesesuaian dengan pemilihan model, pendekatan serta metode dalam pembelajaran terhadap materi ajar.
Berikut contoh pembelajaran berdasar pada teori Piaget sesuai tahap perkembangan kognitif anak usia sekolah:
Pokok Bahasan        : Bangun Ruang.
Sub Pokoh Bahasan : 1.   Kubus.
2.   Balok.
3.   Tabung.
4.   Prisma.
5.   Limas.
6.   Kerucut.
7.   Bola.

a.                  Pembelajaran di tingkat Taman Kanak-Kanak (TK).
1)      Anak-anak baru hanya diperkenalkan dengan bentuk
2)      Pembahasan hanya terbatas pada sub pokok bahasan yang terlihat kontekstual.
3)      Materi kubus cukup pada bentuknya, contoh aplikasi sekitar, serta warna jika ada.
4)      Demikian untuk balok, bola dan yang lainnya dengan konsekuensi siswa mengetahui nama dan bentuknya saja.
Penjelasan
Anak usia Taman Kanak-Kanak masuk kategori pra operasional pada perkembangan teori Piaget. Jadi anak-anak hanya mampu melihat gambar dan tidak berbentuk penalaran atas pengalamannya sendiri.

b.                  Pembelajaran ditingkat Sekolah Dasar (SD).
1)      Anak sudah mulai di perkenalkan dengan pendalaman bentuk bangun yang dia ketahui tersebut.
2)      Pengelompokan bangun juga mulai hanya diperkenalkan, bahwa kubus, balok dan yang lainnya termasuk bangun ruang.
3)      Anak-anak juga berkontekstual dengan bangun-bangun tersebut sehingga ada pemahamannya tentang apa-apa saja yang terdapat pada bangun itu. Seperti kubus, tentu memiliki panjang, lebar dan juga tinggi.
4)      Keterhubungan unsur yang dimiliki belum dijelaskan
5)      Melanjutkan pembelajaran dikelas-kelas berikutnya sampai pada operasi-operasi sederhana yang terdapat pada bangun itu.
Penjelasan
Sesuai kurikulum pembelajaran tematik bangun ruang ini baru diperkenalkan dikelas II SD, itu artinya pembelajaran-pembelajaran sebelumnya tentu masih mengacu pada pra operasional. Dan pada pembelajaran selanjutnya di SD ini sudah memasuki tahap Operasi Kongkret sesuai teori perkembangan kognitif Piaget.

c.                   Pembelajaran ditingkat Sekolah Menengah (SMP dan SMU).
1)      Anak diajarkan mengetahui bentuk, struktur, dan isi dari bangun-bangun ruang yang ada.
2)      Tiap-tiap bangun ruang itu anak-anak diminta mengetahui cara menghitung luas sisi, volume serta bentuk permukaan dengan mengetahui bukaan dari bangun tersebut.
3)      Aplikasi dengan dunia nyata juga penting dilakukan sebanagi aplikasi materi yang diajarkan.
4)      Khusus dijenjang SMU hanya diperdalam dengan mengkaji unsur-unsur yang terdapat pada bangun ruang, disamping mengulangnya kembali pembelajaran itu.
5)      Pembelajaran di SMU sudah sampai pada tingkat penalaran oleh pengalaman sendiri.
Penjelasan
Materi bangun ruang di SMP diajarkan dikelas VII semester 2, itu artinya erat dengan keterstrukturan materi sebelumnya yang menjadi pendukung dalam pembelajaran materi ini. Anak diusia ini sudah masuk pada tingkat operasi formal, sesuai tingkat perkembangan kognitif Piaget.

d.               Pembelajaran di Perguruan Tinggi.
1)      Di perguruan tinggi bangun ruang sudah lebih didalami dalam satu mata kuliah geometri
2)      Pendalamannya lebih dikaji lagi dalam teori Van Hiele.
Penjelasan
Materi ini siswa/mahasiswa sudah mengandalkan tahap deduktif, induktif, hipotesis dan logis. Tetapi tahap perkembangannya tetap berada pada operasi formal sesuai tingkat kognitif Piaget.

D. Teori  Belajar Vygotsky

Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak.
Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua  selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya. 
Penerapan Teori Belajar Vygotsky
Penerapan teori belajar Vygotsky dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.      Walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam Zone of proximal developmnet dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui  ZPD.
2.      Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak, kerja kelompok secara kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan anak.
3.      Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

E. Teori Belajar Bruner

Menurut Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu,(dalam Hudoyo, 1990:48) Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).Dengan mengajukan masalah kontekstual,peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan tekhnologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga atau media lainnya. Bruner melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak baiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika.Melalui alat peraga yang ditelitinya anak akan melihat langsung bagaiman keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang diperhatikannya.
Penerapan Teori Belajar Bruner
 Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1.            Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2.            Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin  yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
3.            Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4.            Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.

Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. 
1.  Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang
            Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang, trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a.  Tahap Enaktif.
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik)objek.
Untuk gambar        
a    ukurannya:        Panjang = 20 satuan , Lebar    =  1 satuan
b    ukurannya:        Panjang = 10 satuan , Lebar   =  2 satuan
c    ukurannya:        Panjang =   5 satuan , Lebar    = 4 satuan
b.  Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
c.  Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang  p, ukuran lebarnya  l , dan luas daerah persegi panjang L maka jawaban yang diharapkan    L  =  p x l  satuan. Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar. 

F. Teori Belajar Polya

Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai, sedangkan menurut utari (1994) dalam (hamsah 2003) mengatakan bahwa pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, menemukan teknik atau produk baru. Bahkan didalam pembelajaran matematika, selain pemecahan masalah mempunyai arti khusus, istilah tersebut mempunyai interpretasi yang berbeda, misalnya menyelesaikan soal cerita yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Polya(1985) mengajukan empat langkah fase penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali semua langkah yang telah dikerjakan
Strategi atau TeknikTeori Belajar Polya dalam Pembelajaran   Matematika
            Menurut Polya beberapa strategi dalam pemecahan masalah antara lain:

1.      Mencoba-coba
Strategi ini biasanya digunakan untuk mendapatkan  gambaran umum pemecahan masalah (trial and error). Proses mencoba-coba ini tidak akan selalu berhasil, adakalanya gagal. Proses mencoba-coba dengan menggunakan suatu analisis yang tajam sangat dibutuhkan pada penggunaan strategi ini.

2.      Membuat diagram
Strategi ini berkait dengan pembuatan gambar untuk mempermudah memahami masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaiannya. Dengan strategi ini, hal-hal yang diketahui tidak sekedar dibayangkan namun dapat dituangkan ke atas kertas.

3.      Mencobakan pada soal yang lebih sederhana
Strategi ini berkait dengan penggunaan contoh-contoh khusus yang lebih mudah dan lebih sederhana, sehingga gambaran umum penyelesaian masalah akan lebih mudah dianalisis  dan akan lebih mudah ditemukan.

4.      Membuat tabel
Strategi ini digunakan untuk membantu menganalisis permasalahan atau jalan pikiran, sehingga segala sesuatunya tidak hanya dibayangkan saja.

5.      Menemukan pola
Strategi ini berkait dengan pencarian keteraturan-keteraturan. Keteraturan yang sudah diperoleh  akan lebih memudahkan  untuk menemukan penyelesaian masalahnya.

6.      Memecah tujuan
Strategi ini berkait dengan pemecahan tujuan umum yang  hendak dicapai. Tujuan pada bagian ini dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.

7.      Memperhitungkan setiap kemungkinan
Strategi ini berkait dengan penggunaan aturan- aturan yang dibuat sendiri oleh para pelaku selama proses pemecahan masalah berlangsung sehingga dapat dipastikan tidak akan ada satu alternatif yang terabaikan.

8.      Berpikir logis
Strategi ini berkaitan dengan penggunaan penalaran ataupun penarikan kesimpulan yang sah atau valid dari berbagai informasi atau data yang ada.

9.      Bergerak dari belakang
Dalam strategi ini proses penyelesaian masalah dimulai dari apa yang ditanyakan, bergerak menuju apa yang diketahui. Melalui proses tersebut dianalisis untuk dicapai pemecahan masalahnya.

10.  Mengabaikan hal yang tidak mungkin
Dalam strategi ini setelah memahami masalah dengan merumuskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Bila ditemukan hal yang tidak berhubungan dengan apa yang diketahui dan apa ditanyakan sebaiknya diabaikan.

Penerapan Teori Belajar Polya
Saat ini teori belajar yang dikemukakan Polya sangatlah memberikan bantuan bagi para pendidik dan anak didikannya karena dapat memecahkan masalah terutama dalam dunia Matematika. Penerapan yang sudah digunakan disekolah-sekolah membuat anak didik menjadi lebih gampang dalam mempelajari Matematika. Salah satu contoh penerapan yang dilakukan oleh sekolah dasar yaitu Proses pembelajaran matematika di SDN Pojok 01 guru hanya menerangkan materi berdasarkan yang terdapat pada buku, dalam pembelajaran guru hanya menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas, sulitnya memberikan bimbingan siswa untuk menemukan prosedur atau cara dalam pemecahan masalah yang mudah dipahami dan diterapkan siswa. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan belajar dalam memahami materi luas persegi panjang.
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan penerapan problem solving menurut polya untuk meningkatkan hasil belajar luas persegi panjang di kelas III SDN Pojok 01 kabupaten blitar serta mendiskripsikan peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran luas persegi panjang melalui model problem solving di kelas III SDN Pojok 01 kabupaten Blitar.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Subjek penelitian siswa kelas III SDN Pojok 01 Kabupaten Blitar dengan jumlah 15 siswa. Teknik yang digunakan untuk mendukung data penelitian ini meliputi: observasi, tes, dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Penerapan model Problem Solving pada materi luas persegi panjang yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana, dan pemeriksaan kembali. Hasil penelitian ini melalui model Problem Solvingdapat mengatasi masalah pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan hasil belajar  siswa yang sangat baik pula. Persentase ketuntasan belajar siswa pada pra tindakan adalah 33,33%, pada siklus I 80%, pada siklus II 100%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan problem solving dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas III SDN Pojok 01, oleh karena itu disarankan model problem solving dapat dijadikan alternatif untuk diterapkan dalam pembelajaran Matematika selanjutnya. Sebaiknya dalam penilaian hasil belajar siswa, guru tidak hanya berpedoman pada tes tulis tetapi juga menerapkan penilaian proses.

G. Teori Belajar Van Hiele

Menurut  Van Hiele ada tiga unsur utama dalam pengajaran Geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur utama tersebut dilalui secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa kepada tahapan berpikir yng lebih tinggi. Adapun tahapan-tahapan anak belajar Geometri menurutnya ada lima tahapan, yaitu tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi.
Penerapan Teori Belajar Van Hiele
Penerapan Teori Van Hiele berdasarkan tahap perkembangan anak mengenai konsep Geometri khususnya bangun segitiga.

A.     Tahap Anak (Visualisasi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar (Orton, 1992:72 dan Anne, 1999), tahap rekognisi (Gutierrez dkk, 1991:242; Muser & Burger, 1994; Arnold, 1996, 1996; dan Argyropoulus, 2001), tahap holistik (Burger & Culpepper, 1993:141), tahap visual (Clements & Battista, 1990:356; Olive, 1991:91 dan Clements & Battista, 2001). Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan. Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat mengenal bangun segitiga. Aktivitas pada tahap ini antara lain:

a.       Memanipulasi, mewarna, melipat, dan mengkonstruk bangun-bangun segitiga.
b.      Mengidentifikasi bangun atau relasi segitiga dalam suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, blok-blok pola atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek-objek fisik lain dalam kelas, rumah, foto, tempat luar, dan dalam bangun yang lain.
c.       Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun dan mengkonstruk bangun.
d.      Mendeskripsikan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya segitiga “seperti atap rumah”.
e.       Mengerjakan masalah yang dapat dipecahkan dengan menyusun, mengukur dan menghitung luas dan keliling segitiga.

B.     Tahap Pubertas (Analisis)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif (Olive 1991:91; Clements & Battista, 1992:427; Arnold, 1996 dan Clements & Battista, 2001). Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa. Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat menyebutkan sifat-sifat bangun segitiga. Aktivitas pada tahap ini antara lain:

a.       Mengukur, mewarna, melipat, memotong, memodelkan dan menyusun dalam urutan tertentu untuk mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan geometri lainnya.
b.      Mendeskripsikan kelas suatu bangun sesuai dengan sifat-sifatnya.
c.       Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifatnya.
d.      Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
e.       Mengidentifikasi bangun berdasarkan visual.
f.       Membuat suatu aturan dan generalisasi secara empirik (berdasarkan beberapa contoh yang dipelajari).
g.       Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
h.      Menemukan sifat-sifat objek yang tidak dikenal.
i.        Menemukan dan menggunakan kata-kata atau simbol-simbol yang sesuai.
j.        Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri atau pendekatan berdasarkan wawasan.

C.     Tahap Adolesen (Deduksi Informal)
Tahap ini dikenal dengan tahap abstrak (Burger & Culpepper, 1993:141), tahap abstrak/relasional (Clements & Battista, 1992:427 dan Clements & Battista, 2001), tahap teoritik (Olive, 1991:90), dan tahap keterkaitan (Muser & Burger, 1994). Arnold (1996), Argyropoulus (2001) dan Orton (1992:72) menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri. Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini dijelaskan sebagai berikut:

a.       Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada tahap pubertas, membuat inklusi, dan membuat implikasi.
b.      Mengidentifikasi sifat-sifat minimal yang menggambarkan suatu bangun.
c.       Membuat dan menggunakan definisi.
d.      Mengikuti argumen-argumen informal.
e.       Mengajukan argumen informal.
f.       Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang kurang.
g.       Memberikan lebih dari suatu pendekatan atau penjelasan.
h.      Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversi.
i.        Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterhubungannya.

H. Teori Belajar Realistic Mathematics Education (RME)

Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika.  Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.  Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia.  Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.  Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).  Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”.  Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).  Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi. Berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi.
a.            Menemukan masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).
b.            Memecahkan masalah (problem solving).
c.            Mengorganisasikan bahan ajar (organizing a subject matter).
Dua jenis matematisasi diformulasikan (dalam Depdiknas, 1991 : 25), yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia riil ke masalah matematika. Contoh dari matematisasi vertikaladalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (dalam Depdiknas, 2000 : 17).
Penerapan Teori Belajar Realistic Mathematics Education (RME)
Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik (dalam Depdiknas, 2005:95).
1.      Pendekatan mekanistik
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.
2.      Pendekatan empiristik
Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horizontal.
3.      Pendekatan strukturalistik
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.



4.      Pendekatan realistik
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

I. Peta Konsep

Peta konsep merupakan implementasi pembelajaran bermakna dari
Ausubel, yaitu kebermaknaan yang ditunjukkan dengan bagan atau peta,
sehingga hubungan antarkonsep menjadi jelas, dan keseluruhan konsep
teridentifikasi. Jenis peta konsep dapat menyebar atau tegak, dengan susunan
dari konsep umum ke konsep khusus, dan setiap perincian dihubungkan dengan kata kerja.
Pembuatan peta konsep terhadap suatu materi matematika
dapat dibuat oleh siswa sebagai tugas individual atau kelompok pada akhir
pembelajaran. Sebagai contoh, peta konsep dapat dibuat sebagai rangkuman
dalam pembicaraan bangun datar segiempat, antara lain adalah:



BAB III

PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Guru matematika yang profesional dan kompeten mempunyai wawasan landasan yang dapat dipakai dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika. Teori-teori yang berpengaruh untuk pengembangan dan perbaikan pembelajaran matematika.
proses pembelajaran untuk menghasilkan kompetensi perlu mendapatkan
penanganan dari guru secara sungguh-sungguh karena guru benar-benar
secara sadar bersedia membuat persiapan dan bekerja lebih interaktif. Sebagai pembelajaran yang relatif berbeda dengan sebelumnya, guru dituntut lebih kreatif dan responsif untuk merencanakan pembelajaran berbasis kompetensi dari topik-topik matematika di dalam kurikulum sekolah.
Keuntungan utama dari penerapan pembelajaran berbasis kompetensi bagi siswa adalah keawetan ingatan (lebih teringat) dan kecerdasan intelektual (meningkat) karena terlatih melihat sesuatu secara menyeluruh dengan memperhatikan berbagai aspek. Kemampuan individual dan kerja sama juga meningkat karena kegiatan pembelajaran diarahkan tidak selalu klasikal, dan kerja kelompok mendapatkan perhatian.
B.     SARAN
Sebagai guru kita harus mengetahui  tentang teori belajar khususnya dalam pembelajaran matematika , sehingga kita mampu merancang pembelajaran yang sesuai dengan materi yang hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan teori belajar yang dirujuk serta mampu melakukan pembelajaran matematika sesuai dengan landasan pelaksanaan pembelajaran matematika sd.






DAFTAR PUSTAKA




No comments:

Post a Comment