BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai pengetahuan, matematika mempunyai ciri-ciri khusus antara
lain
abstrak, deduktif, konsisten, hierarkis, dan logis. Soedjadi (1999) menyatakan
bahwa keabstrakan matematika karena objek dasarnya abstrak, yaitu fakta,
konsep, operasi dan prinsip. Ciri keabstrakan matematika beserta ciri lainnya
yang tidak sederhana, menyebabkan matematika tidak mudah untuk
dipelajari, dan pada akhirnya banyak siswa yang kurang tertarik terhadap
matematika (masih lebih untuk daripada membenci atau "alergi" terhadap
matematika). Ini berarti perlu ada "jembatan" yang dapat menghubungkan
keilmuan matematika tetap terjaga dan matematika dapat lebih mudah
dipahami.
abstrak, deduktif, konsisten, hierarkis, dan logis. Soedjadi (1999) menyatakan
bahwa keabstrakan matematika karena objek dasarnya abstrak, yaitu fakta,
konsep, operasi dan prinsip. Ciri keabstrakan matematika beserta ciri lainnya
yang tidak sederhana, menyebabkan matematika tidak mudah untuk
dipelajari, dan pada akhirnya banyak siswa yang kurang tertarik terhadap
matematika (masih lebih untuk daripada membenci atau "alergi" terhadap
matematika). Ini berarti perlu ada "jembatan" yang dapat menghubungkan
keilmuan matematika tetap terjaga dan matematika dapat lebih mudah
dipahami.
Persoalan mencari jembatan merupakan tantangan, yaitu tantangan
pendidikan matematika untuk mencari dan memilih model matematika yang
menarik, mudah dipahami siswa, menggugah semangat, menantang terlibat,
dan pada akhirnya menjadikan siswa cerdas matematika. Pencarian dan
pemilihan model pembelajaran matematika perlu berorientasi pada
perkembangan mutakhir di dunia, dengan terus berusaha memperpendek
kesenjangan antara kemajuan di dunia dan keadaan nyata di Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan pembelajaran matematika di dunia tidak bisa
diabaikan karena dapat menyebabkan kita semakin sulit mengejar kemajuan
negara lain.
pendidikan matematika untuk mencari dan memilih model matematika yang
menarik, mudah dipahami siswa, menggugah semangat, menantang terlibat,
dan pada akhirnya menjadikan siswa cerdas matematika. Pencarian dan
pemilihan model pembelajaran matematika perlu berorientasi pada
perkembangan mutakhir di dunia, dengan terus berusaha memperpendek
kesenjangan antara kemajuan di dunia dan keadaan nyata di Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan pembelajaran matematika di dunia tidak bisa
diabaikan karena dapat menyebabkan kita semakin sulit mengejar kemajuan
negara lain.
Model pembelajaran matematika yang berkembang didasarkan pada
teori-teori belajar. Hakikat dari teori-teori belajar yang sesuai dengan
pembelajaran matematika perlu dipahami sungguh-sungguh sehingga tidak
keliru dalam menerapkannya. Teori-teori belajar itu menjadi tidak berguna
jika makna dari konsep-konsep yang dikembangkan tidak dipahami dengan
baik. Jika suatu teori belajar ternyata efektif untuk membantu menolong guru
menjadi lebih profesional, yaitu meningkatkan kesadaran guru bahwa mereka
wajib menolong siswa mengintegrasikan konsep baru dengan konsep yang
sudah ada maka teori itu berharga dan patut dipertimbangkan.
teori-teori belajar. Hakikat dari teori-teori belajar yang sesuai dengan
pembelajaran matematika perlu dipahami sungguh-sungguh sehingga tidak
keliru dalam menerapkannya. Teori-teori belajar itu menjadi tidak berguna
jika makna dari konsep-konsep yang dikembangkan tidak dipahami dengan
baik. Jika suatu teori belajar ternyata efektif untuk membantu menolong guru
menjadi lebih profesional, yaitu meningkatkan kesadaran guru bahwa mereka
wajib menolong siswa mengintegrasikan konsep baru dengan konsep yang
sudah ada maka teori itu berharga dan patut dipertimbangkan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
menerapkan teori belajar matematika menurut beberapa ahli
C. Tujuan
1.
Agar
siswa
mengetahui pelaksanaan pembelajaran matematika menurut beberapa ahli
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Thorndike
Edwar
L. Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan bahwa belajar adalah potensi interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa
ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan
(tindakan). Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan
atau tingkah laku akibat kegiatan belajar itu dapat berwujud konkret yang dapat
diamati.
Penerapan Teori Belajar Thorndike
- Sebelum
memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap
mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat
menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
- Pembelajaran
yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu. Hal ini
dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
- Dalam
proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika dengan
cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat
kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar
siswa mampu menyerap materi yang diberikan.
- Pengulangan
terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat
materi terkait lebih lama.
- Supaya
peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses harus bertahap
dari yang sederhana hingga yang kompleks.
- Peserta
didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang
belum baik harus segera diperbaiki.
- Materi
yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan
anak kelak setelah dari sekolah
- Cara
mengajar yang baik bukanlah hanya mengharapkan murid tahu apa yang
telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan
ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang
diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang
salah.
- Tujuan
pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan
harus terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat
menerapkan menurut bermacam – macam situasi
B. Teori Belajar Ausubel
Ausubel
terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Ausubel (Isjoni, 2011:35)
mengemukakan “Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” (meaning
full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang”.
David P. Ausubel (Ruseffendi, E.T., 2006:172) membedakan dua jenis belajar
yaitu belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima bentuk
akhir dari yang diajarkan itu diberikan, sedangkan pada belajar menemukan
bentuk akhir harus dicari peserta didik. Selain itu Ausubel juga membedakan
antara belajar menghafal dengan bermakna. Pada belajar menghafal, siswa
menghafalkan materi yang sudah diperolehnya tetapi pada belajar bermakna,
materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga
belajarnya lebih bisa dimengerti.
Penerapan Teori Belajar Ausubel
Belajar Bermakna David P. Ausubel
Teori
belajar Ausubel menitikberatkan pada bagaimana seseorang memperoleh
pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat dua jenis belajar yaitu
belajar hafalan (rote-learning) dan belajar bermakna (meaningful-learning).
a)
Belajar Hapalan
Materi
dalam pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun
merupakan satu kesatuan, sehingga pengetahuan yang satu dapat berkait dengan
pengetahuan yang lain. Seorang anak tidak akan mengerti penjumlahan dua
bilangan jika ia tidak tahu arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1”
menunjuk pada banyaknya sesuatu yang tunggal seperti banyaknya
kepala, mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2” menunjuk
pada banyaknya sesuatu yang berpasangan seperti banyaknya mata,
telinga, kaki, … dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil salah menghitung
sesuatu. Tangannya masih ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan
“lima” atau malah “enam”. Kesalahan kecil seperti ini akan berakibat
pada kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika
ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari satu sampai sepuluh.
b)
Belajar Bermakna
Agar
proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan
kedua (yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu
tentang 17-08-1945 akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi
5491-80-71.Untuk bilangan pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan
bermakna jika bilangan itu dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di
dalam pikiran kita. Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon
atau nomor lain yang dapat kita kaitkan. Tugas guru adalah membantu
memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama tersebut dapat dikaitkan dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa tidak dapat mengaitkan
antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka
proses pembelajarannya disebut dengan belajar yang tidak bermakna (rote
learning).
Itulah
inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P
Ausubel. Di samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek,
mengingatkan kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum
ia memulai membahas topik baru, sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat
berkait dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar
bermakna tersebut.
C. Teori Belajar Piaget
Jean
Piaget adalah salah seorang psikolog terkenal yang banyak mempengaruhi
perkembangan dunia pendidikan. Selama penelitian Piaget semakin yakin akan
adanya perbedaan antara proses pemikiran anak dan orang dewasa. Ia yakin bahwa
anak bukan merupakan suatu tiruan dari orang dewasa. Anak bukan hanya berpikir
kurang efisien dari orang dewasa, melainkan berpikir secara berbeda dengan
orang dewasa. Itulah sebabnya mengapa Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan
kognitif yang berbeda dari anak sampai menjadi dewasa.
Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget
(Paul. S, 2001:24) dibagi menjadi 4 tahap antara lain:
1. Tahap
sensorimotor (umur 0 – 2 tahun)
Pada
tahap sensorimotor, anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik yaitu
dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan. Karakteristik tahap ini
merupakan gerakan – gerakan akibat suatu reaksi langsung dari rangsangan. Anak
mengatur alamnya dengan indera(sensori) dan tindakan-tindakannya(motor), anak
belum mempunyai kesadaran – kesadaran adanya konsepsi yang tetap. Contohnya:
Diatas ranjang seorang bayi diletakkan mainan yang akan berbunyi bila talinya
dipegang. Suatu saat, ia main-main dan menarik tali itu. Ia mendengar bunyi
yang bagus dan ia senang. Maka ia akan mencoba menarik-narik tali itu agar
muncul bunyi menarik yang sama.
2. Tahap
persiapan operasional (2 – 7 tahun)
Operasi
adalah suatu proses berpikir logis, dan merupakan aktifitas mental bukan
aktifitas sensorimotor. Pada tahap ini anak belum mampu melaksanakan operasi –
operasi mental. Unsur yang menonjol dalam tahap ini adalah mulai digunakannya
bahasa simbolis, yang berupa gambaran dan bahasa ucapan. Dengan menggunakan
bahasa, inteligensi anak semakin maju dan memacu perkembangan pemikiran anak
karena ia sudah dapat menggambarkan sesuatu dengan bentuk yang lain. Contohnya:
anak bermain pasar-pasaran dengan uang dari daun. Kemudian dalam penggunaan
bahasa , anak menirukan apa saja yang baru ia dengar. Ia menirukan orang lain
tanpa sadar. Hal ini dibuat untuk kesenangannya sendiri. Tampaknya ada unsur
latihan disini, yaitu suatu pengulangan untuk semakin memperlancar kemampuan
berbicara meskipun tanpa disadari.
3. Tahap operasi konkret (7 – 11
tahun)
Tahap
operasi konkret dinyatakan dengan perkembangan system pemikiran yang didasarkan
pada peristiwa – peristiwa yang langsung dialami. Anak masih menerapkan logika
berpikir pada barang – barang yang konkret, belum bersifat abstrak maupun
hipotesis. Misalnya suatu gelas diisi air. Selanjutnya dimasukkan uang logam
sehingga permukaan air naik. Anak pada tahap operasi konkreat dapat mengetahui
bahwa volume air tetap sama. Pada tahap sebelumnya, anak masih mengira bahwa
volume air setelah dimasukkan logam menjadi bertambah.
4. Tahap
operasi formal (11 tahun keatas)
Tahap
operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara
kualitas. Pada tahap ini anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan
objek atau peristiwanya langsung.
Penerapan Teori Belajar Piaget.
Tahap-tahap pemikiran Piaget sudah cukup lama
mempengaruhi bagaimana para pendidik menyusun kurikulum, memilih metode
pengajaran dan juga memilih bahan ajar terutama di sekolah sekolah. Maka dari
karya besar Piaget tersebut dapat diimplementasikan pada proses pembelajaran
disekolah sesuai dengan teori perkembangannya itu sendiri. Implementasi pada
pembelajaran matematika yang akan diterakan berikut hanya merupakan bentuk
sebagian saja sebagai contoh yang cocok untuk pengetahuan dan pengembangan terhadap
materi pembelajaran itu sendiri. Tentu yang terpenting adalah kesesuaian dengan
pemilihan model, pendekatan serta metode dalam pembelajaran terhadap materi
ajar.
Berikut contoh pembelajaran berdasar pada
teori Piaget sesuai tahap perkembangan kognitif anak usia sekolah:
Pokok
Bahasan : Bangun Ruang.
Sub
Pokoh Bahasan : 1. Kubus.
2. Balok.
3. Tabung.
4. Prisma.
5. Limas.
6. Kerucut.
7. Bola.
a.
Pembelajaran
di tingkat Taman Kanak-Kanak (TK).
1)
Anak-anak
baru hanya diperkenalkan dengan bentuk
2)
Pembahasan
hanya terbatas pada sub pokok bahasan yang terlihat kontekstual.
3)
Materi
kubus cukup pada bentuknya, contoh aplikasi sekitar, serta warna jika ada.
4)
Demikian
untuk balok, bola dan yang lainnya dengan konsekuensi siswa mengetahui nama dan
bentuknya saja.
Penjelasan
Anak usia Taman Kanak-Kanak masuk kategori
pra operasional pada perkembangan teori Piaget. Jadi anak-anak hanya mampu
melihat gambar dan tidak berbentuk penalaran atas pengalamannya sendiri.
b.
Pembelajaran
ditingkat Sekolah Dasar (SD).
1)
Anak
sudah mulai di perkenalkan dengan pendalaman bentuk bangun yang dia ketahui
tersebut.
2)
Pengelompokan
bangun juga mulai hanya diperkenalkan, bahwa kubus, balok dan yang lainnya
termasuk bangun ruang.
3)
Anak-anak
juga berkontekstual dengan bangun-bangun tersebut sehingga ada pemahamannya
tentang apa-apa saja yang terdapat pada bangun itu. Seperti kubus, tentu
memiliki panjang, lebar dan juga tinggi.
4)
Keterhubungan
unsur yang dimiliki belum dijelaskan
5)
Melanjutkan
pembelajaran dikelas-kelas berikutnya sampai pada operasi-operasi sederhana
yang terdapat pada bangun itu.
Penjelasan
Sesuai kurikulum pembelajaran tematik bangun
ruang ini baru diperkenalkan dikelas II SD, itu artinya
pembelajaran-pembelajaran sebelumnya tentu masih mengacu pada pra operasional.
Dan pada pembelajaran selanjutnya di SD ini sudah memasuki tahap Operasi
Kongkret sesuai teori perkembangan kognitif Piaget.
c.
Pembelajaran
ditingkat Sekolah Menengah (SMP dan SMU).
1)
Anak
diajarkan mengetahui bentuk, struktur, dan isi dari bangun-bangun ruang yang
ada.
2)
Tiap-tiap
bangun ruang itu anak-anak diminta mengetahui cara menghitung luas sisi, volume
serta bentuk permukaan dengan mengetahui bukaan dari bangun tersebut.
3)
Aplikasi
dengan dunia nyata juga penting dilakukan sebanagi aplikasi materi yang
diajarkan.
4)
Khusus
dijenjang SMU hanya diperdalam dengan mengkaji unsur-unsur yang terdapat pada
bangun ruang, disamping mengulangnya kembali pembelajaran itu.
5)
Pembelajaran
di SMU sudah sampai pada tingkat penalaran oleh pengalaman sendiri.
Penjelasan
Materi bangun ruang di SMP diajarkan dikelas
VII semester 2, itu artinya erat dengan keterstrukturan materi sebelumnya yang
menjadi pendukung dalam pembelajaran materi ini. Anak diusia ini sudah masuk
pada tingkat operasi formal, sesuai tingkat perkembangan kognitif Piaget.
d.
Pembelajaran
di Perguruan Tinggi.
1)
Di
perguruan tinggi bangun ruang sudah lebih didalami dalam satu mata kuliah
geometri
2)
Pendalamannya
lebih dikaji lagi dalam teori Van Hiele.
Penjelasan
Materi ini siswa/mahasiswa sudah mengandalkan
tahap deduktif, induktif, hipotesis dan logis. Tetapi tahap perkembangannya
tetap berada pada operasi formal sesuai tingkat kognitif Piaget.
D. Teori Belajar Vygotsky
Teori
Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang
tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan
bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan
penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti
bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana
anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah
terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Vygotsky lebih banyak menekankan
peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak.
Menurut
Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti
kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak
tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir
dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap
sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal
dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota
kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman pembelajaran yang dipandu.
Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan
membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak
dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Penerapan
Teori Belajar Vygotsky
Penerapan teori belajar
Vygotsky dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Walaupun
anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif
mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti
anak-anak bekerja dalam Zone of proximal developmnet dan guru menyediakan
scaffolding bagi anak selama melalui ZPD.
2. Secara
khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak, kerja kelompok secara
kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan anak.
3. Gagasan
tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh
teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang
agak tertinggal dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak
lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu
sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain
dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
E. Teori Belajar Bruner
Menurut
Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari serta
mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
itu,(dalam Hudoyo, 1990:48) Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
(contextual problem).Dengan mengajukan masalah kontekstual,peserta didik secara
bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan tekhnologi informasi
dan komunikasi seperti komputer, alat peraga atau media lainnya. Bruner melalui
teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak baiknya diberi
kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara
khusus dan dapat diotak atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep
matematika.Melalui alat peraga yang ditelitinya anak akan melihat langsung
bagaiman keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang
diperhatikannya.
Penerapan
Teori Belajar Bruner
Penerapan
teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1.
Sajikan
contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk
contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh
adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2.
Bantu
si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan
pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin
yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin
yang dapat digunakan?
3.
Berikan
satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4.
Ajak
dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang
dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
Berikut
ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran
matematika di sekolah dasar.
1.
Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang
Untuk tahap contoh berikan bangun
persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan contohnya berikan bentuk-bentuk
bangun datar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang, trapesium,
segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a.
Tahap Enaktif.
Dalam
tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung
terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik)objek.
Untuk
gambar
a
ukurannya: Panjang = 20 satuan ,
Lebar = 1 satuan
b
ukurannya: Panjang = 10 satuan ,
Lebar = 2 satuan
c
ukurannya: Panjang = 5
satuan , Lebar = 4 satuan
b.
Tahap Ikonik
Dalam
tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang
dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari
objek-objek yang dimanipulasinya.
c. Tahap Simbolis
Dalam
tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol
atau lambang-lambang objek tertentu. Siswa diminta untuk mngeneralisasikan
untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran
panjang p, ukuran lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang
L maka jawaban yang diharapkan L = p x
l satuan. Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan
ukuran lebar.
F. Teori Belajar Polya
Polya
(1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar
dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera
untuk dicapai, sedangkan menurut utari (1994) dalam (hamsah 2003) mengatakan
bahwa pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, menemukan teknik
atau produk baru. Bahkan didalam pembelajaran matematika, selain pemecahan
masalah mempunyai arti khusus, istilah tersebut mempunyai interpretasi yang
berbeda, misalnya menyelesaikan soal cerita yang tidak rutin dan
mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Polya(1985) mengajukan
empat langkah fase penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali semua
langkah yang telah dikerjakan
Strategi atau TeknikTeori Belajar Polya dalam
Pembelajaran Matematika
Menurut
Polya beberapa strategi dalam pemecahan masalah antara lain:
1. Mencoba-coba
Strategi ini biasanya digunakan
untuk mendapatkan gambaran umum pemecahan masalah (trial and error).
Proses mencoba-coba ini tidak akan selalu berhasil, adakalanya gagal. Proses
mencoba-coba dengan menggunakan suatu analisis yang tajam sangat dibutuhkan
pada penggunaan strategi ini.
2. Membuat diagram
Strategi ini berkait dengan
pembuatan gambar untuk mempermudah memahami masalah dan mempermudah mendapatkan
gambaran umum penyelesaiannya. Dengan strategi ini, hal-hal yang diketahui
tidak sekedar dibayangkan namun dapat dituangkan ke atas kertas.
3. Mencobakan
pada soal yang lebih sederhana
Strategi
ini berkait dengan penggunaan contoh-contoh khusus yang lebih mudah dan lebih
sederhana, sehingga gambaran umum penyelesaian masalah akan lebih mudah
dianalisis dan akan lebih mudah ditemukan.
4. Membuat
tabel
Strategi
ini digunakan untuk membantu menganalisis permasalahan atau jalan pikiran,
sehingga segala sesuatunya tidak hanya dibayangkan saja.
5. Menemukan pola
Strategi ini berkait dengan
pencarian keteraturan-keteraturan. Keteraturan yang sudah diperoleh akan
lebih memudahkan untuk menemukan penyelesaian masalahnya.
6. Memecah tujuan
Strategi ini berkait dengan
pemecahan tujuan umum yang hendak dicapai. Tujuan pada bagian ini dapat
digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.
7. Memperhitungkan setiap kemungkinan
Strategi ini berkait dengan
penggunaan aturan- aturan yang dibuat sendiri oleh para pelaku selama proses
pemecahan masalah berlangsung sehingga dapat dipastikan tidak akan ada satu
alternatif yang terabaikan.
8. Berpikir logis
Strategi ini berkaitan dengan
penggunaan penalaran ataupun penarikan kesimpulan yang sah atau valid dari
berbagai informasi atau data yang ada.
9. Bergerak dari belakang
Dalam strategi ini proses
penyelesaian masalah dimulai dari apa yang ditanyakan, bergerak menuju apa yang
diketahui. Melalui proses tersebut dianalisis untuk dicapai pemecahan
masalahnya.
10. Mengabaikan hal yang tidak mungkin
Dalam strategi ini setelah
memahami masalah dengan merumuskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan.
Bila ditemukan hal yang tidak berhubungan dengan apa yang diketahui dan apa
ditanyakan sebaiknya diabaikan.
Penerapan Teori Belajar Polya
Saat ini teori belajar yang
dikemukakan Polya sangatlah memberikan bantuan bagi para pendidik dan anak
didikannya karena dapat memecahkan masalah terutama dalam dunia Matematika.
Penerapan yang sudah digunakan disekolah-sekolah membuat anak didik menjadi
lebih gampang dalam mempelajari Matematika. Salah satu contoh penerapan yang
dilakukan oleh sekolah dasar yaitu Proses pembelajaran matematika di SDN Pojok 01 guru hanya
menerangkan materi berdasarkan yang terdapat pada buku, dalam pembelajaran guru
hanya menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas, sulitnya memberikan
bimbingan siswa untuk menemukan prosedur atau cara dalam pemecahan masalah yang
mudah dipahami dan diterapkan siswa. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami
kesulitan belajar dalam memahami materi luas persegi panjang.
Penelitian ini bertujuan untuk
mendiskripsikan penerapan problem solving menurut polya untuk meningkatkan
hasil belajar luas persegi panjang di kelas III SDN Pojok 01 kabupaten blitar
serta mendiskripsikan peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran luas
persegi panjang melalui model problem solving di kelas III SDN Pojok 01 kabupaten Blitar.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan
kelas (PTK). Subjek penelitian siswa kelas III SDN Pojok 01 Kabupaten Blitar
dengan jumlah 15 siswa. Teknik yang digunakan untuk mendukung data penelitian
ini meliputi: observasi, tes, dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Penerapan model Problem Solving pada materi luas persegi panjang yaitu memahami masalah,
merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana, dan pemeriksaan kembali. Hasil
penelitian ini melalui model Problem Solvingdapat mengatasi masalah pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya peningkatan hasil belajar siswa yang sangat baik pula.
Persentase ketuntasan belajar siswa pada pra tindakan adalah 33,33%, pada
siklus I 80%, pada siklus II 100%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penerapan problem solving dalam pembelajaran matematika
dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas III SDN Pojok 01, oleh karena itu
disarankan model problem solving dapat dijadikan alternatif untuk diterapkan dalam pembelajaran
Matematika selanjutnya. Sebaiknya dalam penilaian hasil belajar siswa, guru
tidak hanya berpedoman pada tes tulis tetapi juga menerapkan penilaian proses.
G. Teori Belajar Van Hiele
Menurut
Van Hiele ada tiga unsur utama dalam pengajaran Geometri, yaitu waktu, materi
pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur utama
tersebut dilalui secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir
siswa kepada tahapan berpikir yng lebih tinggi. Adapun tahapan-tahapan anak
belajar Geometri menurutnya ada lima tahapan, yaitu tahap pengenalan, analisis,
pengurutan, deduksi, dan akurasi.
Penerapan Teori Belajar Van Hiele
Penerapan Teori Van
Hiele berdasarkan tahap perkembangan anak mengenai konsep Geometri khususnya
bangun segitiga.
A. Tahap Anak (Visualisasi)
Tahap ini juga dikenal
dengan tahap dasar (Orton, 1992:72 dan Anne, 1999), tahap rekognisi (Gutierrez
dkk, 1991:242; Muser & Burger, 1994; Arnold, 1996, 1996; dan Argyropoulus,
2001), tahap holistik (Burger & Culpepper, 1993:141), tahap visual
(Clements & Battista, 1990:356; Olive, 1991:91 dan Clements & Battista,
2001). Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar
karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus
pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai
keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan
menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan. Pada tahap ini, siswa
diharapkan dapat mengenal bangun segitiga. Aktivitas pada tahap ini antara
lain:
a. Memanipulasi, mewarna, melipat, dan mengkonstruk
bangun-bangun segitiga.
b. Mengidentifikasi bangun atau relasi segitiga dalam
suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, blok-blok pola atau
alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek-objek fisik
lain dalam kelas, rumah, foto, tempat luar, dan dalam bangun yang lain.
c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas
bergaris, menggambar bangun dan mengkonstruk bangun.
d. Mendeskripsikan bangun-bangun geometri dan
mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya
segitiga “seperti atap rumah”.
e. Mengerjakan masalah yang dapat dipecahkan dengan
menyusun, mengukur dan menghitung luas dan keliling segitiga.
B.
Tahap Pubertas (Analisis)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif (Olive
1991:91; Clements & Battista, 1992:427; Arnold, 1996 dan Clements &
Battista, 2001). Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep
dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu dengan melakukan
pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun
demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat
tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa geometri dan definisi
tidak dapat dipahami oleh siswa. Pada
tahap ini, siswa diharapkan dapat menyebutkan sifat-sifat bangun segitiga. Aktivitas
pada tahap ini antara lain:
a. Mengukur,
mewarna, melipat, memotong, memodelkan dan menyusun dalam urutan tertentu untuk
mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan geometri lainnya.
b. Mendeskripsikan kelas suatu bangun sesuai dengan
sifat-sifatnya.
c. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan
karakteristik sifat-sifatnya.
d. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang
diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
e. Mengidentifikasi
bangun berdasarkan visual.
f. Membuat
suatu aturan dan generalisasi secara empirik (berdasarkan beberapa contoh yang
dipelajari).
g. Mengidentifikasi
sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan
kelas-kelas bangun yang berbeda.
h. Menemukan
sifat-sifat objek yang tidak dikenal.
i.
Menemukan
dan menggunakan kata-kata atau simbol-simbol yang sesuai.
j.
Menyelesaikan
masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan
sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri atau pendekatan berdasarkan wawasan.
C. Tahap
Adolesen (Deduksi Informal)
Tahap ini dikenal dengan tahap abstrak (Burger &
Culpepper, 1993:141), tahap abstrak/relasional (Clements & Battista,
1992:427 dan Clements & Battista, 2001), tahap teoritik (Olive, 1991:90),
dan tahap keterkaitan (Muser & Burger, 1994). Arnold (1996), Argyropoulus
(2001) dan Orton (1992:72) menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap
ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri
dan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan
dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian, siswa
belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri. Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu
mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dibentuk.
Aktivitas siswa untuk tahap ini dijelaskan sebagai berikut:
a. Mempelajari
hubungan yang telah dibuat pada tahap pubertas, membuat inklusi, dan membuat
implikasi.
b. Mengidentifikasi
sifat-sifat minimal yang menggambarkan suatu bangun.
c. Membuat
dan menggunakan definisi.
d. Mengikuti
argumen-argumen informal.
e. Mengajukan
argumen informal.
f. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan
menyisipkan langkah-langkah yang kurang.
g. Memberikan lebih dari suatu pendekatan atau
penjelasan.
h. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada
pernyataan dan konversi.
i.
Menyelesaikan
masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling
keterhubungannya.
H. Teori Belajar Realistic Mathematics
Education (RME)
Realistic
Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam
pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan
dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori
ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus
dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini
berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan
bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”.
Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu
yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan
kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan
proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi. Berdasarkan hasil The
Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut
Freudenthal, aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi.
a.
Menemukan masalah-masalah atau soal-soal
kontekstual (looking for problems).
b.
Memecahkan masalah (problem solving).
c.
Mengorganisasikan bahan ajar (organizing a
subject matter).
Dua jenis matematisasi
diformulasikan (dalam Depdiknas, 1991 : 25), yaitu
matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi
horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah
dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia riil ke
masalah matematika. Contoh dari matematisasi vertikaladalah representasi
hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik,
penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis
matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini
mempunyai nilai sama (dalam Depdiknas, 2000 : 17).
Penerapan Teori Belajar Realistic Mathematics Education (RME)
Berdasarkan
matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam
pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu
pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan
realistik (dalam Depdiknas, 2005:95).
1. Pendekatan mekanistik
Pendekatan mekanistik merupakan
pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman
sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan
ini manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.
2. Pendekatan empiristik
Pendekatan empiristik adalah
suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan
diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horizontal.
3. Pendekatan strukturalistik
Pendekatan strukturalistik merupakan
pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara
panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai
melalui matematisasi vertikal.
4. Pendekatan realistik
Pendekatan realistik adalah
suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak
pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan
siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
I. Peta Konsep
Peta konsep merupakan implementasi pembelajaran bermakna dari
Ausubel, yaitu kebermaknaan yang ditunjukkan dengan bagan atau peta,
sehingga hubungan antarkonsep menjadi jelas, dan keseluruhan konsep
teridentifikasi. Jenis peta konsep dapat menyebar atau tegak, dengan susunan dari konsep umum ke konsep khusus, dan setiap perincian dihubungkan dengan kata kerja.
Ausubel, yaitu kebermaknaan yang ditunjukkan dengan bagan atau peta,
sehingga hubungan antarkonsep menjadi jelas, dan keseluruhan konsep
teridentifikasi. Jenis peta konsep dapat menyebar atau tegak, dengan susunan dari konsep umum ke konsep khusus, dan setiap perincian dihubungkan dengan kata kerja.
Pembuatan peta konsep terhadap suatu materi matematika
dapat dibuat oleh siswa sebagai tugas individual atau kelompok pada akhir
pembelajaran. Sebagai contoh, peta konsep dapat dibuat sebagai rangkuman
dalam pembicaraan bangun datar segiempat, antara lain adalah:
dapat dibuat oleh siswa sebagai tugas individual atau kelompok pada akhir
pembelajaran. Sebagai contoh, peta konsep dapat dibuat sebagai rangkuman
dalam pembicaraan bangun datar segiempat, antara lain adalah:
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Guru matematika yang profesional dan kompeten mempunyai wawasan
landasan yang dapat dipakai dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
matematika. Teori-teori yang berpengaruh untuk pengembangan dan perbaikan pembelajaran matematika.
proses pembelajaran untuk menghasilkan kompetensi perlu mendapatkan
penanganan dari guru secara sungguh-sungguh karena guru benar-benar secara sadar bersedia membuat persiapan dan bekerja lebih interaktif. Sebagai pembelajaran yang relatif berbeda dengan sebelumnya, guru dituntut lebih kreatif dan responsif untuk merencanakan pembelajaran berbasis kompetensi dari topik-topik matematika di dalam kurikulum sekolah.
penanganan dari guru secara sungguh-sungguh karena guru benar-benar secara sadar bersedia membuat persiapan dan bekerja lebih interaktif. Sebagai pembelajaran yang relatif berbeda dengan sebelumnya, guru dituntut lebih kreatif dan responsif untuk merencanakan pembelajaran berbasis kompetensi dari topik-topik matematika di dalam kurikulum sekolah.
Keuntungan utama dari penerapan pembelajaran berbasis kompetensi
bagi siswa adalah keawetan ingatan (lebih teringat) dan kecerdasan
intelektual (meningkat) karena terlatih melihat sesuatu secara menyeluruh
dengan memperhatikan berbagai aspek. Kemampuan individual dan kerja sama juga
meningkat karena kegiatan pembelajaran diarahkan tidak selalu klasikal, dan kerja kelompok mendapatkan perhatian.
B. SARAN
Sebagai guru kita harus mengetahui tentang teori belajar khususnya
dalam pembelajaran matematika , sehingga kita mampu merancang pembelajaran yang
sesuai dengan materi yang hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan
teori belajar yang dirujuk serta mampu
melakukan pembelajaran matematika sesuai dengan landasan pelaksanaan
pembelajaran matematika sd.
No comments:
Post a Comment